Tersembunyi di Balik Asumsi (3)



 Sumber: Google

"Selamat siang saudara-saudara, saya mengabarkan dari tempat produksi air minum kemasan di wilayah A. Di belakang saya, ratusan mahasiswa sedang memprotes perihal jumlah sampah yang menumpuk di pelosok negeri, sampah didominasi botol dan gelas plastik ..."

Suara itu terdengar di seluruh pelosok negeri saat tombol televisi dinyalakan atau pada saat sebuah aplikasi di ponsel menayangkannya. Liburan sekolah kali ini, Fairish mendengar secara langsung suara reporter mengabarkan berita, atau melihat mereka yang tengah bergerombol di depan sebuah tempat yang selama ini disebutnya sebagai pabrik air minum kemasan.

Bocah itu sering membayangkan tentang sebuah tempat yang menakjubkan, mesin yang bergerak sendiri, air yang tertuang tanpa bantuan tangan manusia. Baginya sebuah kebanggaan jika suatu saat bisa berada di dalam  pabrik, melihat benda gagah itu bekerja. Setidaknya seminggu sekali ia memantapkan kembali mimpinya untuk singgah di tempat luar biasa itu, dengan ikut bapak bekerja.

"Terus di belakang Bapak, Nak dan lihat sekeliling, jangan terus-terusan melongo begitu." Ucap bapak mulai memunguti botol plastik di jalanan.

"Tempat itu masih gagah berdiri, Pak. Kelak aku akan ada di dalamnya." Fairish mulai berhayal, ia bahkan tidak sadar jika bapaknya sudah berjalan jauh di depannya.

Masih dengan senyum mengembang, bocah itu menyusul bapaknya dan turut memunguti botol dan gelas plastik. Sudah bertahun-tahun lamanya pekerjaan ini di geluti Narto, setelah lelah membawa amplop cokelat ke sana-ke mari dan tidak juga mendapat panggilan. Pasalnya pendidikan terakhirnya yang Sekolah Menengah Pertama tidak lolos persyaratan pada berbagai bidang pekerjaan.

Seperti kata Mariati, istrinya, apapun pekerjaannya yang terpenting halal, bahkan sebagai pemulung yang pulang hanya membawa uang maksimal dua puluh ribu rupiah, membuatnya menerima dengan lapang dada, meskipun di luaran sana wanita seusianya berlomba-lomba membeli baju model terbaru.

"Bapak, nanti kalau aku udah gede, bakal ada di dalam sana." Fairish masih antusias bercerita tentang mimpinya, kalimat yang sama selalu diulang dari minggu ke minggu dan Narto mengangguk tanda menyetujui.

"Karena yang ada di dalam sana adalah orang hebat dan cerdas, kalau kamu pingin ke sana, berarti kamu harus ngapain mulai sekarang?" Narto mulai menyemangati Fairish dengan kalimatnya, sekaligus mengulang kalimat yang sama saat bocah itu bercerita tentang mimpinya.

"Belajar," Fairish menjawab dengan semangat yang berkobar.

Dulu saat pabrik itu mulai didirikan, Fairish mematung beberapa meter dari lokasi dengan terus mengucapkan terima kasih, entah berterima kasih pada siapa. Tapi baginya, ia baru saja terselamatkan dari sebuah ancaman 'tidak bisa sekolah', dengan pabrik itu berdiri berarti bapaknya akan mendapatkan botol dan gelas plastik lebih banyak setiap harinya, dengan begitu pula bapaknya akan pulang dengan membawa uang yang lebih banyak dari biasanya, selain untuk makan, sebagian untuk membayar biaya sekolah.

Tapi, minggu-minggu ini, rasa penasarannya muncul saat melihat orang-orang berdiri di depan pabrik itu dan berteriak-teriak, dibawanya sebuah kertas besar dibubuhi tulisan, entah tulisan apa, dari jarak beberapa meter tidak terlihat jelas olehnya. Sekarang ia harus menuruti ucapan bapak.

"Kita harus cari gelas dan botol plastik sebanyak-banyaknya. Jangan terus bertanya soal mereka dan jangan coba mendekat, takutnya ada kejadian diluar kendali," jelas Narto.

"Mereka kenapa, Pak?" Bukan Fairish namanya, jika tidak melontarkan serentetan pertanyaan dan tidak akan berhenti sebelum pertanyaannya terjawab.

Bapak hanya diam, tidak menjawab pertanyaan yang baru saja disampaikan Fairish, netranya menelusuri setiap jengkal trotoar, ia harus mencari lebih banyak botol dan gelas plastik, harus dapat uang yang banyak, pasalnya ia tidak tega melihat sepatu sekolah anaknya yang jebol dan seringkali membuat kaos kakinya basah terkena cipratan air.

"Mereka itu ngapain Bapak? Kok teriak-teriak?" bocah itu terus melontarkan pertanyaan.

"Itu namanya demo," bapak menjawab sekenanya dan Fairis mengangguk-angguk seperti telah memahami suatu hal.

"Kenapa mereka demo, Pak?" Pertanyaan Fairis digantung lagi, sementara Narto terus berjalan, sampai ratusan orang yang terkumpul di depan pabrik, tidak lagi tertangkap mata, di belakangnya Fairish membuntut dan kepalanya sesekali menoleh pada segerombolan orang yang tidak lagi terlihat.

"Kenapa mereka demo, Pak?" Ia mengulangi pertanyaanya.

"Demo biar pabriknya ditutup, Nak."

"Apa? Bagaimana bisa? Aku tidak terima jika pabrik itu ditutup, Pak." Bocah itu kesal sendiri.

"Padahal impianku untuk sampai di sana belum terwujud dan ... " kalimatnya tertahan.

Narto menoleh, menyaksikan putranya menunduk, sedetik kemudian air mata Fairish tumpah.

"Kalau pabrik itu tutup, bagaimana dengan kita, Pak?" Ia mendekat ke arah Narto dan memeluknya erat.

#ODOPDay53

Comments

Popular posts from this blog

Tersembunyi di Balik Asumsi (1)

Perjumpaan Dengan Beringin

Altha: Diluar Nalar