Tersembunyi di Balik Asumsi (4)

Sumber: Google

Tidak lagi terlihat Fairish yang ceria dan senantiasa menampakkan deretan giginya, sepanjang perjalanan ia terus merenung, memikirkan nasibnya di kemudian hari, jika pabrik itu benar-benar ditutup, maka makan sehari sekali belum tentu bisa, tidak lagi ada kesempatan menempuh pendidikan hingga jenjang yang lebih tinggi, mungkin itu adalah serentetan fase buruk yang akan dialaminya dikemudian hari, yang menyita pikirannya sekarang ini. Bocah itu mulai kesal sendiri, tangannya mengepal sedari tadi.

Sekilas ide tentang: Belajar yang lebih giat, membuatnya sedikit memiliki harapan untuk mengubah apa yang akan terjadi, dengan giat belajar maka ia akan mudah sampai pada titik sukses, misalnya nanti lulus dari perguruan tinggi, ia akan membela orang-orang pabrik dan menolak terang-terangan asumsi ratusan orang itu, dengan begitu semua orang yang bernasib sama sepertinya, akan tetap makan setiap hari dan akan tetap melanjutkan sekolah.

Selepas karung yang dibawa Narto penuh dengan botol dan gelas plastik, mereka berdua melangkah pulang, langkah Fairish sedikit diperlambat saat melewati pabrik, dua orang sedang berbincang, yang satu memakai celana dan jas dengan warna senada, kakinya dilindungi sepatu fantofel mengkilap, sementara yang satunya memakai jas dan menggendong ransel.

Fairish menghentikan langkahnya kala mendengar pembicaraan mereka, Narto hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan anaknya, rasa haru menyelimutinya kala melihat tingkah Fairish yang tidak mencerminkan anak usia sepuluh tahun.

"Tidak sopan mendengar pembicaraan orang lain, Nak," ucap Narto.

"Tapi Fairish tidak terima kalau mereka mau menutup pabriknya." Suara bocah itu penuh penekanan.

Ia terus menatap dua orang yang tengah berbincang, bocah yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar itu mencoba mencerna kalimat yang sampai di telinganya.

"Tahun ini sampah semakin menumpuk di sini, Pak. Sementara sampah didominasi gelas dan botol plastik yang keduanya merupakan limbah dari minuman yang Bapak produksi setiap hari. Kalau seperti ini terus, sampah akan semakin banyak, belum lagi dampak-dampak yang lain, Pak. Atau mungkin anda punya solusi agar sampah botol dan gelas plastik tidak menumpuk seperti sekarang ini?" Seseorang yang menggendong ransel menyuarakan asumsinya.

"Kalau kami tidak produksi, banyak karyawan akan menganggur, bukan cuma karyawan, suplayer-suplayer di luaran sana juga akan kehilangan pekerjaannya. Apakah kamu punya solusi untuk hal itu?" Seseorang berjas rapi dari pihak pabrik tak kalah tegas menyuarakan asumsinya.

Ditempatnya berdiri, ia mulai menangis, entah mengapa dadanya seperti dihantam benda berat. Kesempatan untuk sekolah mungkin benar-benar akan lenyap, namun ia tidak bisa berbuat apa-apa, nyatanya dengan giat belajar sekarang, tidak akan membuat seseorang sampai pada fase sukses sekarang juga, sementara peristiwa ini terjadi sekarang.

"Aku yang tidak tahu besok harus makan apa dan bisakah aku melanjutkan mimpi yang sudah kubangun selama ini, sementara kesempatan sekolah sebentar lagi akan menghilang." Fairish berteriak lantang, membuat mereka menghentikan obrolan dan dalam waktu yang bersamaan menatap Fairish yang berdiri tidak jauh dari mereka.

"Adek, dengarkan dulu penjelasan kakak." Pria yang menggendong ransel itu jongkok di hadapan Fairish.

"Bagiku, kalian jahat," ucap Fairish dengan sesenggukan. Narto reflek menarik tangan anaknya agar menjauh dan tidak ikut campur permasalahan yang tengah mereka perdebatkan.

Firish pulang masih dalam keadaan menangis dan membaur pada pelukan mak, ia mulai bercerita tentang apa yang baru saja dialaminya. Rupanya berita demo menjadi pembahasan semua orang, tak terkecuali guru-guru Fairish di sekolah, bocah itu yang notabennya pemberani, mencoba menanyakan perihal kejadian 'demo' pada salah satu gurunya.

"Bu, pendemo itu jahat ya?" Fairish mulai bertanya.

"Kenapa Fairish bilang pendemo itu jahat?" Dijawabnya pertanyaan Fairish dengan pertanyaan pula.

"Ya, mereka mau menutup pabrik itu, Bu. Mereka jahat," jelasnya.

"Begini, Nak. Mereka bukannya jahat, mereka datang membawa harapan agar negeri ini bersih dari sampah." Jelas Ibu guru sembari mengelus puncak kepala Fairish.

"Kenapa Ibu membela mereka?" tanya Fairish, ia mulai kesal dengan semua orang yang seolah sepakat dengan pendemo.

"Bukannya Ibu membela mereka, Nak."

"Tapi pendemo itu membuat Bapak tidak lagi bisa mencari gelas dan botol plastik. Kami tidak bisa makan dan mungkin sekolahku akan terancam." Ucapnya dan berlalu dengan air mata yang menetes lagi, ia tidak habis pikir kenapa semua orang justru berpihak pada pendemo itu?

#ODOPDay54

Comments

Popular posts from this blog

Tersembunyi di Balik Asumsi (1)

Perjumpaan Dengan Beringin

Altha: Diluar Nalar