Posts

Showing posts from October, 2019

Tersembunyi di Balik Asumsi (2)

Image
Sumber: Google Bergegas melepas tas dan menaruh kertas yang ada dalam genggamannya di atas meja. Lupa melepas seragamnya, bocah itu bergegas menuju dapur, mengangkat tudung saji, terbelalak matanya melihat ikan goreng dua biji di atas piring, disebelah piring ada nasi yang uapnya masih mengepul. "Makan ikan hari ini, Mak?" ucap Fairis sumringah, mak di sampingnya mengangguk mantap. Nasi di ambil secukupnya dan diletakkan di atas piring, hampir saja tangan itu mengambil satu ikan, pikirannya mendadak terfikirkan tentang jumlah ikan, jika jumlahnya dua, sementara penghuni rumah tiga orang, itu artinya akan ada satu penghuni rumah yang tidak makan ikan. Melihat Fairish ragu mengambil ikan, mak bertanya, "Kenapa Fairish?" "Mak sudah makan?" tanya Fairish. "Sudah," jawab mak singkat, Fairish tahu jika kali ini mak berbohong, bahkan nasi yang masih mengepul itu belum terjamah tangan sama sekali, tapi mak mengaku sudah makan. "Fai

Tersembunyi di Balik Asumsi (1)

Image
Sumber: Google Bocah lelaki berbaju putih kecokelatan berjalan gontai melewati jalan setapak. Baju itu adalah hadiah dari bapaknya yang pulang bekerja tempo hari, katanya diberi seseorang yang tidak dikenal. Kala itu wajahnya sumringah menerima bingkisan seragam sekolah, biarpun tidak baru, pakaian itu lebih dari cukup menyelamatkannya dari gigitan semut dan masuk angin, baju lamanya yang bolong sana-sini membuatnya sering bentol-bentol saat melewati pohon jambu di dekat sekolah dan sesekali membuatnya masuk angin saat musim hujan tiba. Dengan membawa lembaran hasil ujian, hatinya terus berdoa, semoga siang ini mak punya uang untuk memasak dan menanak nasi, karena ujian tadi membuatnya berpikir ekstra keras dan secara tidak langsung membuat cacing-cacing diperutnya meronta. "Assalamu'alaikum," Sampai di depan pintu bocah itu melepas sepatunya dan mengucapkan salam. Mak dari dalam menjawab salam dan tersenyum, jagoannya pulang menimba ilmu. Bagi Mariati sekolah

Pada Serentetan Keinginan

Image
Sumber: Google Dari sekian hari saat aku menyadari bahwa pembunuhan mengintaiku setiap waktu, sejak saat itu pula aku lebih berhati-hati menggerakkan ekorku, mataku lebih jeli lagi melihat keadaan, waspada jika tiba-tiba ada bayangan hitam besar di permukaan perairan, seperti kata kawanku, yang nyawanya hampir melayang, ia bahkan mempraktekkan bagaimana keadaan napasnya yang terengap-engap saat berada dalam tempat gersang yang membuat ekor dan siripnya susah digerakkan, yang ia tahu disekelilingnya banyak sosok-sosok berbadan tegap, kutahu jika sosok-sosok itu disebut: Manusia. Semasa kecil saat berkumpul bersama di sekitar terumbu karang, ibu pernah bilang, bahwa nasib kita bergantung pada sosok-sosok di atas sana, di daratan, mereka adalah manusia yang setiap hari datang ke laut untuk mencari kami dan dengan benda yang mereka bawa, akan menyeret kami ke atas sana untuk dijadikan santapan. Saat aku mendengar cerita Tuna, saat itu juga aku mengingat apa yang pernah ibu sampai

Altha: Namanya Hitam

Image
   Sumber: Google Sebuah buku tergeletak tepat di sebelahku, saat aku mulai duduk dan kembali mengatur nafasku yang tak karuan, jarak antara tempat kos dan stasiun lumayan jauh, ditambah tempat dudukku yang sedikit bersembunyi di antara kerumunan, lelaki itu tidak akan mungkin menemuiku, untuk urusan mama biar kupikir nanti, harus kunormalkan kerja otak dan hatiku terlebih dahulu, setelah keadaan mencekam beberapa menit yang lalu, sebuah kejadian yang tidak akan kulupakan seumur hidupku, semua detail kejadian membekas di ingatanku. Memegang buku itu, aku coba mengamati sekitar mungkin diantara mereka ada yang merasa bukunya terjatuh atau tidak sengaja tertinggal, namun semua orang di sekelilingku sibuk dengan dirinya sendiri, sebagian mengobrol, sebagian yang lain menyandarkan tubuhnya pada kursi tunggu, wajah-wajah lelah terlihat di sana, mungkin pekerjaan seharian tidak memberinya kesempatan untuk beristirahat.   Dengan lancang aku memegang buku itu, membac

Altha: Melarikan Diri

Image
Sumber gambar: Google Motor berhenti di depan salah satu kamar kos, lelaki itu turun dan menatapku cukup lama, korneanya menelusuri tubuhku dari ujung kepala sampai kaki. "Aneh." Desisnya pelan, mengalihkan pandangan, merogoh kantong mencari sesuatu, wajahnya nampak terlihat lega setelah menggenggamnya: kunci. Digenggamnya kunci itu, dan melangkah menuju pintu. Jantungku mulai berdetak tidak normal, keringat mulai membasahi wajah dan telapak tangan, dalam hitungan menit aku akan benar-benar hancur dan hina. Masih ada hitungan menit sebelum benar-benar terjadi, aku bisa lari ke sudut manapun, keadaan juga mendukung, sekitaran kosan tidak ada satu orangpun, hanya kami berdua. Tapi, bapak terkapar tak berdaya dan membutuhkan aku. Ia tersenyum sesaat ke arahku dan memberi kode berupa anggukan kepala, memintaku untuk masuk ruangan. Seluruh tubuh yang bergetar kupaksa masuk, diatas segala cemas yang berkecamuk, terlintas satu hal yang sedikit membuatku tenang, walau

Altha: Pilihan Berat

Image
Sumber gambar: Google Mengakhiri tangisnya, mama melepas pelukanku begitu saja, aku gelagapan menyaksikan ia bangkit dan ingin bergerak menjauhi ruang tamu, namun suaraku menahannya, "Mama, ijinkan Altha bicara dulu." Ia menoleh beberapa saat, mengamatiku yang masih sesenggukan, mengurungkan niat dan kembali duduk di sebelahku. Aku sedang ingin menawarkan hal-hal mustahil yang bahkan sebelum kuucapkan sudah kutebak jawaban mama atas ideku "Aku siap bekerja dari pagi hingga petang, Ma. Asal jangan di tempat itu," ucapku seraya memohon, mencoba meminta mama untuk berbaik hati mengurungkan niatnya atasku, tapi, bukankah luka bapak juga bukan suatu kejadian yang bisa diurungkan? "Kalaupun kamu bekerja pagi sampai malam, gajimu belum tentu cukup untuk membiayai pengobatan Bapak. Belum lagi gaji yang dibayar di akhir bulan, sementara Bapakmu meregang nyawa. Otakku tidak bisa lagi mencari solusi, selain apa yang sudah kusampaikan padamu." Mama

Altha: Diluar Nalar

Image
Sumber gambar: Google Suasana di ruang tamu terlihat sepi saat aku keluar kamar dan berusaha menghilangkan bekas air mata, mencoba terlihat baik-baik saja. Saat aku melintas di depan kamar nenek, terlihat beliau yang kusyu dalam salat malamnya, sementara mama di atas ranjang sudah tertidur lelap, mereka tidak melihat aku yang melintas untuk pura-pura ke kamar mandi, padahal ingin menyaksikan keadaan di luar kamar setelah terdengar ucapan yang menyakitkan. Aku masuk ke kamar mandi hanya pura-pura mencuci tangan dan melintas kembali di depan kamar nenek, otakku berpikir lebih jauh lagi setelah sebuah pengakuan gamblangnya beberapa menit yang lalu, mereka menyebut dirinya sebagai pekerja malam, tapi melihat nenek yang menangis di atas sajadahnya malam ini, rasa-rasanya seperti sebuah hal yang mustahil, mungkin karena image seorang pekerja malam bagi kebanyakan orang adalah buruk, padahal sebuah kenyataan yang tidak pernah mereka ketahui, selalu ada kemungkinan jika merekalah ya

Altha: Apakah lelucon?

Image
Sumber gambar: Google Kali pertama tidur di rumah mama membuat mataku susah terpejam, di sebelahku Galang sudah sampai di alam mimpi, tidak butuh waktu lama untuk membuatnya tertidur, saat kepala bertemu bantal, maka saat itu pula terdengar suara dengkuran. Di sebelahnya aku hanya menatap wajah polosnya, kemudian menyapu pandangan, mengamati tembok kamar yang kosong tanpa gambar atau foto, di sebelah kiri ranjang tempatku tertidur sebuah lemari yang tidak terlalu besar berdiri gagah, di depan lemari itu ada dua koper dan dua ransel yang berisi pakaian dan segala peralatan yang kami bawa, yang belum sempat kami masukkan dalam lemari. Wajah bapak tiba-tiba terlintas dalam pandangku, manusia hebat itu sedang apa sekarang? Kenapa sudah lama tidak menemui kami? Bahkan saat rumah dijual dan kami harus tinggal di tempat ini, ia masih tidak juga datang untuk memastikan keadaan putra-putrinya. Aku tahu, tidak wajar sebenarnya, setelah perilaku buruk yang terdengar oleh telingaku, kem

Altha: Target

Otak dipaksa untuk berpikir keras lagi akhir-akhir ini, harusnya ia sudah katam menghadapi masalah besar yang menghadangnya dengan menikahi lelaki itu, tapi nahas apa yang dipikirkannya sebelum menikah ternyata tidak sebanding dengan kenyataan yang terjadi, harusnya menikahi lelaki kaya cukup membuatnya duduk di rumah dan menikmati hidup, atau bahkan lebih mudah membawa Ibunya ke rumah sakit untuk berobat, tapi kenyataanya lelaki kaya yang dinikahinya adalah lelaki yang mungkin saja memberinya kebahagiaan dalam wujud materi, meskipun sesaat, bukan wujud kasih sayang.   Ia sempat berfikir bahwa pernikahannya dengan lelaki itu tidak lebih karena cinta, tapi demi hidup layak dan kesehatan Ibunya, tapi satu rumah dan tanpa cinta adalah satu hal yang pelan-pelan menyakitinya, apalagi hadirnya wanita lain yang mengisi hidup suaminya di luaran sana. Benar kata beberapa kawannya yang menikah karena perjodohan, awal mula menikah mungkin tidak ada cinta, dan mencoba menjalani hari-hari

Altha: Rumah Mama

Gerimis yang turun beriring dengan langkah mama yang mendekat, di sebelahnya seorang lelaki paruh baya berbincang-bincang dengan Mama. Galang sudah siap menggendong tas yang berisi pakaiannya dan menunjuk satu koper yang berisi buku-buku pelajaran sekolah, memintaku untuk membawanya. Aku sudah siap dengan semua pakaian dan peralatanku yang sudah kumasukkan dalam satu tas besar. Selepas berbincang dan bersalaman dengan lelaki itu, mama menggandeng tangan Galang dan berpamitan, aku membuntut di belakangnya. Taxi parkir di depan rumah, Mama membuka pintunya dan mempersilakan kami masuk lebih dulu. Taxi meluncur melewati perjalanan yang lenggang. Gerimis masih turun dan aku coba menerka-nerka ke mana tujuan kami, aku tau tujuannya adalah rumah Mama, tapi rumah mama di daerah mana? Setelah melewati jalan besar, Taxi berbelok ke sebuah gang kecil, masuk beberapa meter, mama meminta Taxi berhenti. Barang-barang dari bagasi di keluarkan dan kami turun. Tanpa ekspresi mama menyeret kop

Main ke Pantai Kutang

Image
Sumber gambar: Google Sebagai anak rumahan, kalau diminta bercerita tentang tempat wisata yang pernah dikunjungi adalah suatu hal yang rada alot untuk kukerjakan. Bahkan ketika teman-teman menceritakan banyak tempat-tempat keren yang dikunjungi, aku mentok bercerita hanya seputaran daerahku saja. Daerah pesisir, yang mayoritas wisatanya berupa pantai. Kali ini aku akan bercerita tentang salah satu wisata pantai yang terakhir kukunjungi beberapa bulan yang lalu. Mohon maaf karena dalam cerita kali ini, akan kusebutkan satu kata yang   terkesan mengarah ke kata jorok, tapi memang demikian adanya, karena nama pantai ini diambil dari nama salah satu pakaian dalam wanita: Pantai Kutang. Kutang sendiri dalam Bahasa Indonesia berararti 'BH'. Entah bagaimana filosofinya sampai pantai ini dinamai Pantai Kutang, dulu awal mula adanya pantai ini, di bagian selatan jembatan yang berdiri di tengah lautan, ada banyak BH yang bertengger di batu karang. Dugaanku karena

Altha: Siapa?

Setelah Mama keluar rumah dan kembali menutup pintu, aku masih mencerna kalimatnya yang baru saja disampaikan. Bapak yang tidak terlihat batang hidungnya akhir-akhir ini, terkesan banyak rahasia yang coba disembunyikan mereka dariku. Mungkin strategi Mama demi mengusai harta Bapak. Tapi, sejujurnya selama ia menetap di rumah ini, aku menepis semua cerita-cerita seram tentang Ibu tiri, aku masih melakukan segala aktifitas tanpa terganggu oleh perintah Mama. Bahkan semua pekerjaan rumah dikerjakannya seorang diri, mengepel, menyapu, bahkan memasak, meskipun masakannya tidak pernah terjamah tanganku dan Galang. Kupatenkan di kepalaku, bahwa tidak akan pernah ada yang bisa menggantikan Ibu di rumah ini, aku juga malas memanggilnya Mama, apalagi Galang, bocah itu justru lebih dingin dari aku, bahkan semua ucapan Mama tidak pernah di gubris, ia beranggapan bahwa Mama adalah pembantu yang sengaja di datangkan Bapak, untuk bersih-bersih di rumah ini. Tidak habis pikir, kenapa Galang yan

Altha: Rahasia

Les yang diliburkan sementara waktu, membuat gadis itu bisa menikmati hari dengan santai, berbeda dengan hari-hari sebelumnya, hampir setengah hari membuatnya tidak berhenti bergerak. Sembari menonton televisi, siang itu tugasnya menunggu Galang pulang sekolah dan menyiapkan makan siang untuk sang Adik. Galang datang dengan muka penuh bulir keringat, wajahnya sumringah mengacung-acungkan kertas di depan muka Altha, disodorkannya kertas ulangan harian matematika yang dihiasi dengan angka sembilan puluh lima di sudut kanan atas. "Sembilan puluh lima mbak, besok kalau Galang belajar lebih giat lagi, bakal dapat nilai sempurna." Ucapnya antusias, menampakkan deretan gigi yang bagian depannya menempel sisa noda bekas cokelat batangan. "Bekas cokelat dibersihkan dulu, Dek. Makan cokelat tapi lupa sama mbak," Altha menggodanya dengan kalimat yang pernah diucapkannya dulu. "Nanti kalau beli lagi, tak bagi dua. Yang separuh buat aku, separuhnya lagi bua