Altha: Siapa?

Setelah Mama keluar rumah dan kembali menutup pintu, aku masih mencerna kalimatnya yang baru saja disampaikan. Bapak yang tidak terlihat batang hidungnya akhir-akhir ini, terkesan banyak rahasia yang coba disembunyikan mereka dariku.

Mungkin strategi Mama demi mengusai harta Bapak. Tapi, sejujurnya selama ia menetap di rumah ini, aku menepis semua cerita-cerita seram tentang Ibu tiri, aku masih melakukan segala aktifitas tanpa terganggu oleh perintah Mama. Bahkan semua pekerjaan rumah dikerjakannya seorang diri, mengepel, menyapu, bahkan memasak, meskipun masakannya tidak pernah terjamah tanganku dan Galang.

Kupatenkan di kepalaku, bahwa tidak akan pernah ada yang bisa menggantikan Ibu di rumah ini, aku juga malas memanggilnya Mama, apalagi Galang, bocah itu justru lebih dingin dari aku, bahkan semua ucapan Mama tidak pernah di gubris, ia beranggapan bahwa Mama adalah pembantu yang sengaja di datangkan Bapak, untuk bersih-bersih di rumah ini.

Tidak habis pikir, kenapa Galang yang polos bisa begitu entengnya mengatakan itu di depanku dan Mama di suatu sore, aku bahkan sengaja membungkamnya, biarpun titel jahat menempel di diri mama, ia tetap manusia, yang bisa menangis dan sakit hati.

Di meja makan ia berbicara lantang,

"Aku kemaren cerita ke temenku, Mbak. Kalau di rumahku tiba-tiba datang seorang wanita yang di bawa Bapak, setelah Ibu menghilang entah ke mana. Wanita itu cantik, tapi aku tidak paham siapa wanita itu." Ia begitu antusias mengulang kalimat yang pernah ia sampikan pada kawannya di sekolah.

"Tapi kata Rio, mungkin wanita itu saudara Ibu atau Bapak. Tapi seingatku saat kami pulang kampung saat idhul fitri dan mengunjungi sanak saudara di sana, aku tidak pernah ketemu wanita itu." Ia menghentikan sesaat ceritanya dan melahap jeruk yang baru saja dikupas.

Mama sedang di dapur, entah sedang membenahi apa, mama mungkin mendengar semua perkataan Galang, bisa jadi mama kesal atau malah mama menangis mendengar kalimat yang disampaikan adikku.

Aku memintanya untuk menghentikan ceritanya, namun Galang protes, katanya cerita belum selesai dan harus dituntaskan.

"Tina mendengar percakapan kami, Mbak. Dan dia ikut berpendapat, mungkin wanita itu pembantu. Aku berpikir lagi, mungkin saja benar kata Tina." Ia melanjutkan ceritanya.

Di detik setelah Galang mengucap kalimat 'pembantu', aku membungkam mulutnya untuk tidak lagi melanjutkan cerita dan di saat yang bersamaan, mama menaruh piring kaca di tumpukan dengan keras hingga terdengar bunyi 'prang', gesekan antara piring yang satu dengan piring yang lain.

Saat itu juga aku merasa bersalah dengan ucapan polos Galang, ingin rasanya mendekati Mama dan minta maaf, tapi urung kulakukan, tidak tau kenapa demikian.

Mama bergegas melewati kami di ruang makan dengan wajah bersungut-sungut, Galang di sebelahku terus melihat Mama yang berjalan menuju kamar, Mama masuk dan menutup pintu sangat keras.

"Dia marah, ya?" ia bertanya polos padaku.

"Besok lagi nggak boleh bicara seperti itu Dek. Nggak sopan."

"Lho kan kalau dipikir-pikir ucapan Tina bisa saja benar mbak," bantahnya.

"Emang mbak setuju dengan Tina?" ia menatapku lama, menunggu jawaban terlontar dari mulutku.

Kujawab dengan gelengan, tanda tidak setuju.

"Kalau begitu, menurut mbak Altha, dia itu siapa?"

Aku mencerna lagi kalimat yang diucapkan Galang, mendayu-dayu kalimat itu di kepalaku dan aku hanya bisa diam, Galang menunggu mulutku terbuka dan menjawab pertanyaannya, aku masih diam, dengan kalimat apa aku harus menjawabnya?

#ODOPDay40

Comments

Popular posts from this blog

Tersembunyi di Balik Asumsi (1)

Perjumpaan Dengan Beringin

Altha: Diluar Nalar