Altha: Hal-hal ganjil

Bau masakan sampai di kamar, membuat Altha mengerjap. Setengah sadar, ia melangkahkan kaki menuju dapur, mencari sumber bau. Seseorang berpakaian daster tengah sibuk mengaduk masakan di atas kompor.

"Ngapain?" Ucap Altha tiba-tiba, membuat tubuh itu berjingkat.

"Masak," jawab Yunda singkat.

"Nggak perlu repot-repot, aku bisa memasak sendiri." Altha dingin pagi ini, semalaman ia tidak bisa tidur, mencoba mencerna keadaan yang sedang dialami, dan lebih penting lagi, jika bukan karena wanita itu, mungkin ibu tidak akan kambuh dan masih berada di sampingnya hari ini. Meskipun berusaha ikhlas, tapi hatinya masih berbolak-balik.

Yunda tak kalah dingin, ia bahkan tidak menggubris kalimat yang baru saja disampaikan Altha. Selepas memastikan masakannya matang, ia matikan kompor dan berjalan melewati Altha.

Wanita itu berhenti lima langkah di depannya, menoleh dan melihat Altha yang sedang melihatnya, pandangan mereka bertemu.

"Masakanku mungkin nggak enak, mungkin saja kamu nggak sudi makan masakanku. Tapi siapa tau kamu lapar, aku taruh makanannya di atas meja."

Terserah - Batinnya.

Meninggalkan kalimat Yunda menggantung tanpa jawaban, Altha bergegas kembali masuk kamar, membangunkan Adiknya yang masih terlelap, tugas Ibu kini beralih menjadi tugasnya, mulai dari membangunkan, menyiapkan sarapan dan mengantar Galang sampai di depan gerbang sekolah adalah rutinitas yang harus dijalani setiap harinya.

"Bangun, waktunya sekolah." Altha menarik selimut yang membungkus tubuh mungil Galang.

Galang yang masih kelas satu Sekolah Dasar lebih sering merengek dan merajuk, memberitahukan apa saja yang terjadi di sekolah pada Ibu. Tapi sekarang keadaan berubah, begitupun Galang yang sekarang lebih banyak diam dan membaca buku-buku dongeng. Tidak ada lagi suara lantang yang menceritakan tentang teman sekolahnya yang jail atau tentang nilai matematikanya yang memperoleh nilai delapan puluh. Rumah benar-benar sepi.

Kali ini tanpa rengekan ia mengucek mata dan bergegas bangkit dari tempat tidur, mengambil handuk di gantungan dan masuk kamar mandi.

"Kenapa sih aku harus sekolah? Aku males sekolah kak." Suara Galang terdengar dari kamar mandi.

"Lho katanya suka belajar matematika," jawab Altha.

"Galang nggak mau ketemu Bapak di sekolah."

"Maksudmu?"

"Bapak suka datang ke sekolah."

"Kamu di jemput Bapak?"

"Bapak jemput Nino dan mamanya. Bapak itu Bapaknya nino atau Bapakku sih?"

Benda berat seperti menimpa hatinya, rasa sakit menjalar di sana. Tangisnya pecah, ia tidak habis pikir kejanggalan semacam ini tidak pernah terdengar saat Ibunya masih hidup, tapi semenjak sang Ibu berpulang, Bapak terus melakukan pendekatan pada Banyak wanita.

Berikan penjelasan tentang makna kesetiaan. -  Batinnya.

***
Althafunnisa gadis dua puluh empat tahun, yang tahun lalu baru saja diwisuda dan bergelar sarjana. Tapi ia tak diijinkan bapaknya menenteng amplop cokelat kemana-mana. Bisnis Bapak cukup membuatnya hidup layak dan segela keinginanya dikabulkan tanpa menunggu waktu.

Bukan Altha namanya, jika mau berpangku tangan pada orang tuanya lagi, sudah cukup meminta uang jajan selama perkuliahan. Lulus adalah gerbangnya untuk berdiri di kakinya sendiri, keberuntungannya ada pada sebuah lembaga kursus anak Sekolah Dasar dan Kanak-kanak. Dijalaninya profesi itu dengan senang hati. Baginya yang lebih membahagiakan dari sekedar gaji adalah Ilmu yang bermanfaat.

Atas dasar didikan sang Ibu, ia tumbuh menjadi gadis santun dan tidak banyak bicara. Maka ia cukup menjalankan aktifitasnya di dalam rumah tanpa harus perduli apa saja yang terjadi setiap harinya, kecuali yang bersangkutan  dengan Adiknya.

Hidup keluarga Altha seperti normal di kaca mata orang-orang, meskipun sebelumnya desas-desus tentang istri baru yang dibawa pulang Bapak, menyebar sampai ke komplek sebelah, beberapa pasang mata bahkan menatap iba ke dua anak yang ditinggal mati Ibunya.

Makanan disediakan Yunda setiap hari, namun tidak pernah tersentuh barang sedikitpun. Hingga bulan berganti Tahun, Yunda mulai tidak lagi memperdulikan Soni dan Anak-anaknya dan mulai menikmati hidupnya sendiri.

Setiap malam Yunda keluar rumah mengenakan pakaian mini, mengoleskan lipstik merah di bibirnya, mengenakan sepatu hils yang berganti-ganti setiap harinya dan selalu pulang menjelang subuh. Bapak bahkan lebih parah lagi, sudah hampir satu minggu tidak lagi menginjakkan kaki di rumah. Entah kejadian apa yang membuatnya malas pulang.

Hingga sebuah telephone berdering di suatu sore, Altha yang bergerak cepat menuju sumber suara kalah cepat dengan langkah kaki mama tirinya, membuat Altha menghentikan langkah, kembali ke tempat semula.

"Iya ini dengan istrinya Soni." Suara mama mengangkat telephone membuatnya melupakan buku yang ada di genggaman.

"Apa?" Lantang mamanya berteriak, sebelum akhirnya telephone di tutup. Sang mama bergerak cepat mengambil sesuatu ke dalam kamar, kemudian bergegas pergi. Altha masih duduk mengamati mama yang panik dan keluar kamar, sesaat setelahnya terdengar suara mobil yang melaju kencang.

#ODOPDay38

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tersembunyi di Balik Asumsi (1)

Perjumpaan Dengan Beringin

Altha: Diluar Nalar