Altha: Rumah Mama

Gerimis yang turun beriring dengan langkah mama yang mendekat, di sebelahnya seorang lelaki paruh baya berbincang-bincang dengan Mama.

Galang sudah siap menggendong tas yang berisi pakaiannya dan menunjuk satu koper yang berisi buku-buku pelajaran sekolah, memintaku untuk membawanya. Aku sudah siap dengan semua pakaian dan peralatanku yang sudah kumasukkan dalam satu tas besar.

Selepas berbincang dan bersalaman dengan lelaki itu, mama menggandeng tangan Galang dan berpamitan, aku membuntut di belakangnya. Taxi parkir di depan rumah, Mama membuka pintunya dan mempersilakan kami masuk lebih dulu. Taxi meluncur melewati perjalanan yang lenggang. Gerimis masih turun dan aku coba menerka-nerka ke mana tujuan kami, aku tau tujuannya adalah rumah Mama, tapi rumah mama di daerah mana?

Setelah melewati jalan besar, Taxi berbelok ke sebuah gang kecil, masuk beberapa meter, mama meminta Taxi berhenti. Barang-barang dari bagasi di keluarkan dan kami turun.

Tanpa ekspresi mama menyeret koper yang lebih besar, seraya meminta kami untuk mengikutinya dan langkah mama berhenti pada sebuah rumah sederhana bercat biru muda. Setelah pintu di buka nampak seorang nenek sedang duduk bersandar di kursi tamu.
Menatap kami yang datang, beliau tersenyum, seperti mengucapkan selamat datang.

Aku enggan menanyai mama tentang siapa beliau, Galang dan aku bergantian menciumi tangan nenek. Badan beliau lemas, sesekali merintih kesakitan, batuk sering terdengar, mungkin sedang tidak enak badan.

"Nenek sakit?" tanya Galang, menyentuh pipi beliau. Bocah ini memang selalu mengagumkan di mataku, tentang simpatinya pada siapapun yang terlihat lemah. Ia memeluk nenek erat, dan beliau membalas tak kalah eratnya, senyumnya melebar, aku menatap itu dengan haru, setitik air menetes dari mataku.

Mama sibuk dengan kegiatannya, meletakkan tas dan koper kami pada sebuah kamar utama. Ada dua kamar bersebelahan, dugaanku mungkin kamar pertama adalah kamar mama, sementara yang satunya kamar nenek. Rumah ini sepi, penghuninya mungkin hanya mama dan nenek. Aku ingin menanyakan ini, namun aku masih mengunci mulutku.

"Yang ini namanya siapa?" Tanya nenek, tangannya masih merangkul adikku.

"Galang, Nek," jawab galang singkat, peluh yang membanjiri wajah nenek diusapnya sesekali.

Mungkin Galang menganggap beliau neneknya sendiri, maklumlah sejak ia lahir, tidak punya kesempatan untuk berjumpa dengan Nenek, dua bulan sebelum kelahiran Galang Nenek dari pihak Ibu berpulang, sementara Kakek dari pihak Ibu dan Nenek Kakek dari pihak Bapak sudah lebih dulu berpulang saat aku duduk di bangku Sekolah Dasar.

"Kalau kakaknya Galang namanya siapa?" Nenek menatapku.

"Saya Altha, Nek," jawabku singkat.

"Udah gede ya, masih sekolah?"

"Tahun lalu lulus kuliah." Aku tersenyum menimpali pertanyaan nenek.

"Sudah sarjana toh rupanya. Alhamdulillah, nak. Bisa menempuh pendidikan tinggi." Kata nenek dan mulai mempersilakan kami duduk di meja makan.

Mama sudah menyiapkan makanan di sana, ada telur dadar yang masih hangat dan sambal tomat, Galang yang notabennya doyan makan, tanpa malu mengambil piring lebih dulu, mengambil nasi dengan porsi banyak.

"Galang nggak boleh gitu, nggak sopan." Aku mengelus pundaknya, mengingatkan bahwa kita sekarang menumpang, jangan sesukanya makan banyak seperti di rumah.

"Tidak apa-apa, nak. Ambil yang banyak. Kalian pasti lapar." Nenek duduk di seberang, mulai mengambil piring.

"Bu, aku berangkat dulu." Suara mama berpamitan membuat kami diam sesaat, secara bersamaan menatap mama yang mencium punggung tangan nenek dan sekilas melihat ke arah.

Entah mau ke mana? Lagi-lagi aku menyimpan banyak pertanyaan, urung kukatakan. Aku masih coba mencerna, hal apa saja yang sengaja disembunyikan.

#ODOPDay42

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tersembunyi di Balik Asumsi (1)

Perjumpaan Dengan Beringin

Altha: Diluar Nalar