Altha: Target


Otak dipaksa untuk berpikir keras lagi akhir-akhir ini, harusnya ia sudah katam menghadapi masalah besar yang menghadangnya dengan menikahi lelaki itu, tapi nahas apa yang dipikirkannya sebelum menikah ternyata tidak sebanding dengan kenyataan yang terjadi, harusnya menikahi lelaki kaya cukup membuatnya duduk di rumah dan menikmati hidup, atau bahkan lebih mudah membawa Ibunya ke rumah sakit untuk berobat, tapi kenyataanya lelaki kaya yang dinikahinya adalah lelaki yang mungkin saja memberinya kebahagiaan dalam wujud materi, meskipun sesaat, bukan wujud kasih sayang.
 
Ia sempat berfikir bahwa pernikahannya dengan lelaki itu tidak lebih karena cinta, tapi demi hidup layak dan kesehatan Ibunya, tapi satu rumah dan tanpa cinta adalah satu hal yang pelan-pelan menyakitinya, apalagi hadirnya wanita lain yang mengisi hidup suaminya di luaran sana.

Benar kata beberapa kawannya yang menikah karena perjodohan, awal mula menikah mungkin tidak ada cinta, dan mencoba menjalani hari-hari dengan terpaksa, tapi perasaan bisa tiba-tiba datang begitu saja, selalu ada kemungkinan seminggu, sebulan bahkan setahun dalam menjalani hidup berdua, perasaan cemburu tiba-tiba datang dan sejak saat itu perasaan takut kehilangan muncul.

Begitupun Yunda, ia terpaksa menikah dengan lelaki itu karena desakan Ibunya, ia bahkan rela meninggalkan seseorang yang dicintainya demi menikah dengan lelaki yang sudah beristri dan memiliki dua anak, semua dilakukannya demi kesehatan Ibu. 

Ia menikah tanpa cinta, namun terakhir sebelum semua permasalahan besar ini hadir, mendadak setiap malam ia merasa cemburu dengan wanita yang dikencani suaminya setiap malam, belum lagi keadaan rumah yang tidak mendukung, dua anak tirinya tidak benar-benar menerima kehadiran untuk menggantikan Ibunya yang berpulang, Ia mafhum, hal ini mungkin berat, tapi ia yakin entah kapan waktunya, dua anak itu akan luluh dalam pelukannya, hal itu yang menciptakan perdebatan setiap malam menjelang tidur, hingga permasalahan besar ini membuat segalanya semakin berantakan.

Terlebih otak Yunda yang harus diputar setiap hari untuk mencari uang, kali ini dengan langkah gontai ia keluar ruangan rumah sakit dan membawa setumpuk uang hasil penjualan rumah, ia menyodorkan uang itu pada pihak administrasi, besar harapannya, kesembuhan akan terjadi dan ia tidak lagi pontang-panting mencari uang, tapi ini tetap kewajibannya, diatas rasa kecewa yang ada, ia harus tetap menjalankan tugasnya sebagai seorang istri.

Setelah uang itu digunakan untuk membiayai administrasi hari ini maka ia harus kembali memikirkan uang untuk besok, ia terduduk lesu di ruang tunggu, malam ini ia kebingungan, harus pulang atau tidur di sini, akan lebih menimbulkan curiga jika ia tidak pulang semalaman, maka ia memutuskan untuk pulang dan sedikit mengistirahatkan pikiran. Bunyi telepon yang berdering membuyarkan lamunannya.

"Hey Yun," suara di seberang.

"Iya ada apa? Ada pelanggan lagi?" jawab Yunda pelan, suaranya tertahan bahkan saat menghadapi orang lain, pikirannya masih terfokus pada biaya rumah sakit besok.

"Katanya kamu butuh uang, aku punya solusi?"

"Solusi apa?"

"Kamu ada barang baru nggak? Kalau kamu punya barang baru, ada satu pelanggan yang pengen barang baru, yang baru satu-dua kali pakai, tapi yang lihai."

Pikirannya menerobos ke mana saja, mencari barang baru yang akan membuanya bisa membayar biaya administrasi rumah sakit besok, tapi semua kawannya bukan lagi barang baru, meraka rata-rata sudah puluhan kali terpakai, sanak saudara? Ia bahkan tidak lagi memiliki sanak saudara, siapa juga yang mau mengakui ia dan ibunya sebagai saudara, manusia hina tidak akan diakui keluarga. Kalaupun ada sanak saudara, ia tidak setega itu membiarkan keluarganya untuk mengikuti jejaknya di dunia hitam, cukup ia yang di cap memiliki masa depan suram, jangan yang lain.

"Imbalannya?" tanya Yunda singkat.

"Sepuluh juta, lima juta untukmu dan lima juta untuk barang baru." Kawan di seberang menjawab.

"Beri waktu untuk berpikir, nanti kalau sudah ada target, kamu tak kabari."

"Oke."

Sambungan terputus, dan dipikiran Yunda terlintas satu nama: Altha. Ia diujung dilema, bocah ini tidak tahu apa-apa, bocah ini bahkan tidak pernah jahat padanya selama ada di rumah, bocah ini yang polos dan tidak tahu apa-apa, belum lagi ibadahnya yang tidak pernah absen, alangkah berdosa jika harus dipaksa untuk terjun di tempat hina.

"Tapi, bukankah ini juga tentang kewajibannya sebagai seorang anak?" desisnya pelan, melangkah pergi, menjauhi rumah sakit dengan pikiran yang terus menimbang Altha sebagai targetnya.



#ODOPDay43

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tersembunyi di Balik Asumsi (1)

Perjumpaan Dengan Beringin

Altha: Diluar Nalar