Altha: Rahasia

Les yang diliburkan sementara waktu, membuat gadis itu bisa menikmati hari dengan santai, berbeda dengan hari-hari sebelumnya, hampir setengah hari membuatnya tidak berhenti bergerak. Sembari menonton televisi, siang itu tugasnya menunggu Galang pulang sekolah dan menyiapkan makan siang untuk sang Adik.

Galang datang dengan muka penuh bulir keringat, wajahnya sumringah mengacung-acungkan kertas di depan muka Altha, disodorkannya kertas ulangan harian matematika yang dihiasi dengan angka sembilan puluh lima di sudut kanan atas.

"Sembilan puluh lima mbak, besok kalau Galang belajar lebih giat lagi, bakal dapat nilai sempurna." Ucapnya antusias, menampakkan deretan gigi yang bagian depannya menempel sisa noda bekas cokelat batangan.

"Bekas cokelat dibersihkan dulu, Dek. Makan cokelat tapi lupa sama mbak," Altha menggodanya dengan kalimat yang pernah diucapkannya dulu.

"Nanti kalau beli lagi, tak bagi dua. Yang separuh buat aku, separuhnya lagi buat mbak Altha," jawaban yang sama terlontar lagi. Tapi Altha cukup tau, cokelat yang menggiurkan tidak akan membuat Galang ingat ucapan itu, kalaupun suatu saat membeli cokelat lagi, ia akan kembali melahapnya habis, hanya meninggalkan noda cokelat di giginya dan mengatakan hal yang sama.

Tidak jadi masalah bagi Altha, sekarang yang lebih penting di atas bahagianya sendiri adalah kebahagiaan adiknya. Ia paham, keberuntungan lebih berpihak padanya dari pada bocah yang kini duduk di bangku Sekolah Dasar itu. Ia cukup paham, di usianya yang kepala dua, sesekali ada perasaan yang menunjukkan bahwa ia tidak seberuntung orang-orang di luaran sana. Betapa bahagianya, melewati masa: Menikah, menjadi istri, menimang bayi, bahkan menimang cucu, berbalut senyum dan tawa Ibu, sementara ia, bahkan sebelum menemukan orang yang cocok untuk di tunjuk sebagai pendamping, justru Ibu pamit lebih dulu.

Yang tidak beruntung lagi adalah Galang, usianya yang masih belia, mau tidak mau harus ikhlas menerima kenyataan bahwa tidak akan mampu melewati kesempatan bercerita tentang sekolah menengah favorit pada Ibu, atau tidak bisa merengek di depan Ibu, saat nilainya tidak cukup untuk masuk sekolah favorit tersebut dan ia tidak memiliki kesempatan untuk bercerita tentang lawan jenis yang coba mendekatinya, mengirimkan pesan yang mungkin maknanya susah ditangkap, sementara Altha sudah melewati itu semua bersama Ibu.

Bocah itu duduk ngos-ngosan di sofa. Altha mengelus rambut yang ujungnya basah, maklum jarak sekolah dengan rumah yang ditempuh dengan sepeda, cukup membuatnya mandi keringat dan berakhir dengan mengeluh.

"Capek," katanya.

"Biar kurus," jawab Altha, meniru kalimat yang sering disampaikan Ibunya.

"Tapi udah tiap hari ke sekolah naik sepeda, kok nggak kurus-kurus?" Bocah itu sekarang lebih mahir bertanya ini-itu.

"Karena kebanyakan makan cokelat dan nggak dibagi-bagi sama mbak," Altha menggoda.

Ia bergegas pergi meletakkan tas di dalam kamar dan mengambil makanan di dapur.

"Galang makan dulu." Ucap Altha mengambil nasi dan ikan, bersiap menyuapi Galang.

"Kalau makan terus nanti Galang gendut."

"Kalau nggak makan, nanti gilang kelaparan." Rayu Altha dan mulai mendaratkan sendok berisi makanan ke mulut adiknya.

Bocah itu melahap habis makanan, Ia bahkan mulai terbiasa dengan masakan Altha, tidak lagi ada protes yang membedakan antara masakannya dengan masakan Ibu. Jika sebelumnya semua ceritanya yang mendengar adalah Ibu, kini semua cerita itu lebih sering masuk ke telinga Altha, seperti siang ini setelah menghabiskan makanan, ia mulai sibuk bercerita tentang kawan-kawan di sekolah, juga tentang tokoh-tokoh dalam buku cerita yang ia baca.

Satu lagi, ia mula melupakan satu kebiasaan yang dulu tidak pernah absen menjadi pertanyaan utama saat berada di rumah.

Ibu dan Bapak di mana? -  adalah pertanyaan yang selalu terdengar setiap kali Galang pulang ke rumah, entah itu sepulang sekolah, sepulang mengaji atau bahkan sepulang dari bermain bersama kawan-kawan.Tidak ada hal yang melegakan baginya kecuali menjumpai Ibu dan Bapak dalam waktu yang bersamaan.

Bapak yang mulai tidak lagi menginjakkan kaki di rumah dan tidak menampakkan batang hidungnya mungkin yang membuat bocah itu lupa dengan kebiasaan, atau bisa jadi tentang Alasan-alasan Altha yang disampaikan saat Galang celingukan mencari ke sana-kemari.

Masih seru mendengar cerita Galang tentang teman sekelasnya bernama Nikita yang suka duduk dekat-dekat dengannya, suara pintu terbuka membuat mereka diam bersamaan dan menyimak kedatangan seseorang. Mama dengan pakaian setelan bludru dan wajah datarnya mendekat ke arah mereka,

"Rumah ini sudah di jual, nanti malam pemilik rumah yang baru akan datang, kamu bersiap-siap pergi dari rumah ini," ucap Mama dengan wajah datar.

Galang dan Altha melongo mendengar kalimat itu, otak gadis itu susah mencerna semua ini. Apa yang terjadi? Bapak kemana? Kalaupun di jual kenapa bukan Bapak yang menyampaikan ini? Adalah serentetan pertanyaan, yang berlomba ingin menemui jawaban. Ia mulai menyimpulkan tentang seorang wanita muda yang menikahi orang kaya di televisi memang terbukti kebenarannya siang itu, Altha beranggapan bahwa wanita inilah yang ingin menghabisi semua harta Bapaknya, hingga sepersekian detik kemudian saat tubuh yang mulai berjalan menjauhinya itu berbalik dan mengatakan,

"Rumahku enggak mewah, tempatnya kotor, kalau kamu bersedia tinggal di sana, bergegas kemasi barang-barang kalian," ucapnya.

Ini rahasia apa lagi? - batinnya.


#ODOPDay39

Comments

Popular posts from this blog

Tersembunyi di Balik Asumsi (1)

Perjumpaan Dengan Beringin

Altha: Diluar Nalar