Pada Serentetan Keinginan

Sumber: Google

Dari sekian hari saat aku menyadari bahwa pembunuhan mengintaiku setiap waktu, sejak saat itu pula aku lebih berhati-hati menggerakkan ekorku, mataku lebih jeli lagi melihat keadaan, waspada jika tiba-tiba ada bayangan hitam besar di permukaan perairan, seperti kata kawanku, yang nyawanya hampir melayang, ia bahkan mempraktekkan bagaimana keadaan napasnya yang terengap-engap saat berada dalam tempat gersang yang membuat ekor dan siripnya susah digerakkan, yang ia tahu disekelilingnya banyak sosok-sosok berbadan tegap, kutahu jika sosok-sosok itu disebut: Manusia.

Semasa kecil saat berkumpul bersama di sekitar terumbu karang, ibu pernah bilang, bahwa nasib kita bergantung pada sosok-sosok di atas sana, di daratan, mereka adalah manusia yang setiap hari datang ke laut untuk mencari kami dan dengan benda yang mereka bawa, akan menyeret kami ke atas sana untuk dijadikan santapan. Saat aku mendengar cerita Tuna, saat itu juga aku mengingat apa yang pernah ibu sampaikan padaku waktu itu.

Ditengah ceritanya, ibu sama sekali tidak marah, karena baginya memang kami diciptakan Tuhan untuk menjadi santapan mereka, menjadi kawan nasi di atas piring, ibu memberitahuku agar aku tidak ketakutan dan mulai siap-siap, jika suatu saat tanpa aba-aba, seperti yang terjadi juga pada Tuna, tubuhku akan sampai pada tempat gersang pula. Katanya saat itu terjadi, ada tiga kemungkinan, mungkin ibu sudah mendahuluiku sampai di tempat itu, atau aku yang lebih dulu sampai di sana ketimbang ibu, atau dalam waktu yang bersamaan tubuh kita ditarik alat yang mereka gunakan.

Namun kutahu, bahwa kemungkinan pilihan pertama yang sudah terjadi, bahwa ibulah yang meregang nyawa lebih dulu, karena sampai sekian hari sejak pencarianku, aku tidak lagi menemukannya, aku menanyakan perihal keadaan ibu pada semua kawan yang kujumpai, tapi mereka mengatakan hal yang sama, tidak bertemu ibu, dan pengakuan Tuna saat berceritalah yang membuatku dapat menyimpulkan jika pilihan pertama sudah terjadi.

"Saat aku ditarik benda itu, aku berjumpa Ibumu, Ri," begitu ucapnya memberi tahukan.

"Namun saat aku hampir terdampar di sana, Ibumu tidak tau menghilang ke mana, kalau saja Ibumu ada di sampingku, sudah kuajak dia untuk mencari celah pada benda itu, bergerak menuju lobang yang lebih besar supaya bisa lolos, tapi sayangnya aku tidak menemukan Ibumu," lanjutnya menahan tangis.

Ini adalah Takdir. - Batinku mengingat kembali kalimat yang pernah disampaikannya, ibu tidak akan protes dengan kejadian itu dan tidak lagi punya pikiran seperti Tuna yang ingin meloloskan diri.

"Mungkin sebentar lagi giliranku," batinku.

Tubuhku lunglai, semenjak mendengar berita tentang ibu, aku tidak lagi semangat hidup, beberapa kawanku juga protes, kenapa aku tidak seceria dulu, yang begitu antusias bercerita tentang apapun. Lamunanku buyar seketika, mendengar teriakan yang bersahut-sahutan.

"Tolong!" Suara terdengar dari sudut kiriku.

"Tolong aku!" Suara yang lainnya terdengar entah dari sudut mana.

Tanpa sadar aku bergerombol bersama banyak kawan-kawanku, kami saling berdekatan dan tidak ada celah, sebuah benda mengangkat kami ke atas, ke daratan, membuat napasku terengah-engah, ekor dan siripku tidak lagi bisa membuatku bergerak dan aku terdampar pada tempat gersang, tubuhku bisa saja mengering, ini waktuku, mengalami apa yang pernah ibu sampaikan padaku.

Saat tidak lagi kudengar suara kawan-kawanku meminta tolong, sayup-sayup kudengar suara manusia saling berbincang,

"Kita harus dapatkan ikan yang lebih banyak, kau tau istriku suka marah-marah kalau aku tidak bawa uang." Seseorang memulai pembicaraan.

"Iya bener, aku setuju denganmu. Kemaren baru saja beli baju baru, sekarang pengen baju baru lagi." Suara yang lain menimpali.

"Lebih parah lagi, kemaren sepulang berlayar aku belikan handphone, sebelum berangkat kemaren katanya minta beli lagi handphone keluaran terbaru." Suara yang lainnya tidak kalah antusias menceritakan kejadian yang dialami.

Mendengar itu aku tersenyum, ternyata banyak nyawa kami melayang bukan lagi demi suatu hal yang sewajarnya, yakni menjadi santapan mereka, yang katanya daging kami mengandung banyak protein yang bisa mencerdaskan siapapun yang melahap kami, ternyata satu hal lain yang terselip sebagai taruhan atas hilangnya nyawa kami adalah tentang serentetan keinginan manusia. Aku jadi mengingat satu lagi kalimat ibu yang lain dan menjawab penasaranku,

"Manusia itu siapa, Bu?" pertanyaanku kala itu.

"Manusia itu adalah makhluk yang hidup di atas sana, di daratan. Konon mereka adalah makhluk yang tidak pernah merasa puas dengan apa yang dimilikinya," jelas ibu.

Percakapan itu menjadi jawaban atas penasaranku selama ini dan diambang sadarku, aku mendengar lagi,

"Cari ikan yang banyak, agar tidak dapat omelan." Mereka berseru diikuti tawa yang menggelegar dan di sampingku semua kawanku satu persatu tak bergerak, mereka mati bukan lagi demi menjadi santapan di meja makan, tapi demi memenuhi serentetan keinginan dan ketidakpuasan diri.

#ODOPDay50

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tersembunyi di Balik Asumsi (1)

Perjumpaan Dengan Beringin

Altha: Diluar Nalar