Altha: Awal Mula


 Sumber gambar: Google

"Ingat, nyawa Bapakmu bergantung kehadiranmu nanti malam. Kalau kau datang, besok Bapakmu masih hidup, kalau kau nggak datang, ya tahu sendiri apa yang akan terjadi." Kalimat itu terngiang di telinganya, ia tertegun, matanya tidak lepas menatap dress hitam pendek yang baru saja dikirim seseorang yang tidak dikenalnya.

Tidak pernah terbayang sebelumnya, hal separah ini akan mampir dalam hidup dan menyita pikiran akhir-akhir ini. Manusia yang dikira baik adalah manusia yang menjatuhkan keluarganya dalam lubang kesengsaraan, sementara ia tidak punya kuasa untuk berontak, nyawa Bapak menjadi taruhan.

Ia menatap kaca dan mengamati lagi jubah dan kerudung yang terjulur menutupi lekuk tubuhnya, mengingat kembali pesan Ibu kala itu.

"Kamu wanita, jagalah mahkotamu, Nak. Jangan biarkan orang lain merenggut itu. Berikan hanya pada suamimu kelak."

Air mata mulai berurai, sedari kemarin ia berusaha menahan, menjadi wanita kuat memang tidak semudah perkataan yang sering ia lontarkan sebagai sugesti.
Semenjak dua bulan kepergian Ibunya, ia bertekad untuk menyembunyikan sedihnya dan memilih terlihat baik-baik saja.

Kepergian Ibunya enam bulan yang lalu sekaligus membuka segala keganjalan yang terlihat pada diri lelaki yang dihormatinya itu. Tentang kepulangannya yang larut malam dan segudang alasan yang disampaikan dengan gelagapan.

Sehari paska sang Ibu di kebumikan, seorang wanita cantik datang menyeret koper dengan wajah sendu yang dibuat-buat, memeluk adiknya yang merengek memanggil nama Ibu. Altha mematung menyaksikan Bapaknya merangkul Adik dan wanita itu, serentetan tanda tanya mulai singgah di kepalanya.

"Ini Ibu," Ucap lelaki paruh baya, menunjuk wanita cantik di sebelahnya.

"Dia bukan Ibu. Ibuku mana, Pak?" sang Adik merajuk, tangisnya semakin kencang.

"Maksud Bapak?" Altha menyahut.

"Maafkan Bapak, Nak. Selama ini Bapak punya istri ke dua, tapi Bapak tidak pernah menyampaikan ini pada Ibu, karena aku takut Ibumu sakitnya akan semakin parah."
Sang Bapak mendekati Altha yang masih mematung.

"Berarti benar apa yang Ibu sampaikan selama ini."

"Maksudmu?"

"Setiap Bapak tidak pulang ke rumah, Bapak tidur di rumah wanita itu. Iya? Benar begitu, Pak?" Amarah terlihat di wajah gadis dua puluh empat tahun, bersamaan dengan itu sang Adik berlari dan memeluknya erat.

"Kebohongan dan ketidak setiaan Bapak yang justru membuat penyakit Ibu semakin parah. Bapak egois." Ucapnya tegas, memilih menggandeng tangan Adiknya masuk ke dalam kamar. Sejak hari itu ia merasa, hidupnya berantakan.

Sosok Ibu tiri baginya tidak lepas dari hal-hal yang selama ini ia dengar dan lihat di televisi, belum lagi cerita-cerita Hanum selama ini, tentang Ibu tirinya yang selalu memaksanya untuk melakukan pekerjaan ini dan itu di rumahnya sendiri, ia diperlakukan selayaknya pembantu.

Meskipun tidak bisa dipukul rata, tapi selalu ada kemungkinan akan hal itu, baginya harta Bapak yang berlimpah, cukup menarik perhatian wanita diluaran sana untuk berlomba-lomba mendekati Bapak karena hartanya, tidak terkecuali wanita yang sejak malam itu mulai tinggal di rumahnya.

Tapi ia bernafas lega, saat makan malamnya tidak ditemani wanita itu, entah karena urusan apa, Yunda, begitu nama panggilannya, malam itu dandan cantik dan keluar rumah. Altha dan adiknya bisa tenang menikmati makan malam. Hingga saat makanan masih tersisa di piring, suara pintu terbuka membuat mereka berhenti mengunyah.

Suara langkah kaki terdengar mendekat ke arah meja makan dan sosok sempoyongan berteriak kesetanan,

"Mas kamu dimana?"

Tak mendengar jawaban, ia ucapkan kalimat yang sama. Tak lama berselang, tubuh sempoyongan itu ambruk, namun Altha dan Adiknya sudah melarikan diri lebih dulu, mereka ketakutan.

Bersambung..


#ODOPDay36

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tersembunyi di Balik Asumsi (1)

Perjumpaan Dengan Beringin

Altha: Diluar Nalar