Altha: Pilihan Berat



Sumber gambar: Google

Mengakhiri tangisnya, mama melepas pelukanku begitu saja, aku gelagapan menyaksikan ia bangkit dan ingin bergerak menjauhi ruang tamu, namun suaraku menahannya,

"Mama, ijinkan Altha bicara dulu."

Ia menoleh beberapa saat, mengamatiku yang masih sesenggukan, mengurungkan niat dan kembali duduk di sebelahku. Aku sedang ingin menawarkan hal-hal mustahil yang bahkan sebelum kuucapkan sudah kutebak jawaban mama atas ideku

"Aku siap bekerja dari pagi hingga petang, Ma. Asal jangan di tempat itu," ucapku seraya memohon, mencoba meminta mama untuk berbaik hati mengurungkan niatnya atasku, tapi, bukankah luka bapak juga bukan suatu kejadian yang bisa diurungkan?

"Kalaupun kamu bekerja pagi sampai malam, gajimu belum tentu cukup untuk membiayai pengobatan Bapak. Belum lagi gaji yang dibayar di akhir bulan, sementara Bapakmu meregang nyawa. Otakku tidak bisa lagi mencari solusi, selain apa yang sudah kusampaikan padamu."

Mama tetap kukuh dengan keinginannya, sembari menunggu jawabanku menyetujui itu, dalam hitungan menit berikutnya, setelah ia menatapku lamat-lamat dan korneanya menelusuri tubuhku dari ujung kaki sampai ujung kepala, ia meninggalkanku seorang diri, dengan kepala yang terus membayangkan kejadian yang akan terjadi di dalam ruangan nanti malam, bagaimana tubuhku ditelusuri, beberapa kali ciuman mungkin mendarat ke tubuhku tanpa menunggu kusetujui. Yang lebih menyakitkan lagi, aku menyerahkan begitu saja, apapun yang selama ini kujaga mati-matian.

Bolehkah jika sesekali aku mencoba menyalahi takdir? Bersama deretan 'seandainya' yang terucap begitu saja disela rasa lelah menghadapi semua ini. Ah, seandainya ibu masih disini, mungkin pertemuanku dengan mama tidak akan pernah terjadi, apalagi sampai ditawari satu hal yang menyakitkan ini.

Mama keluar kamar dengan pakaian rapi, sebelum sampai di depan pintu, ia menatapku sesaat dan mengucap,

"Ingat, kesehatan Bapakmu bergantung kehadiranmu nanti malam. Kalau kau datang, besok Bapakmu mungkin akan membaik, kalau kau nggak datang, ya tahu sendiri apa yang akan terjadi."

Kemudian bergegas pergi tanpa menunggu jawabanku, aku paham mama juga terpaksa mengucapkan itu. 

Sore hari sepulang mengajar les, sebuah tas berisi dress pemberian mama, diberikan seseorang kepadaku. Menjelang magrib, aku hanya bisa terus menangis, mengamati jubah yang kupakai bergantian mengamati dress yang kuletakkan di atas ranjang.

Nenek di kamar menangis, entah menangisi apa, mungkin menangisiku. Tuhan, apa yang harus kuperbuat? Ibu, pilihan kali ini sulit, tidak lagi bisa kucerna nasehat-nasehatmu kala itu.

Mau tidak mau, malam itu aku datang ke tempat yang sudah mama beritahukan melalui pesan singkat, aku memilih mengenakan jubah dan membawa tas yang berisi drees pemberian mama, dan reaksi yang kulihat saat sampai di tempat itu, seseorang di samping mama berbisik,

"Dia mau datang ke pengajian?"

Sebuah sindiran yang membuatku terhenyak sesaat, beberapa detik kemudian mama mendekat ke arahku, dengan tatapan tajam, ia mengatakan,

"Dress yang mama kirim tadi sudah sampai?"

"Sudah. Ini." Kataku sembari menyodorkan tas yang berisi dress.

"Kenapa nggak kamu pakai?"

"Aku nggak bisa, Ma."

Sampai pada pembicaraan ini, air mata susah kuhentikan, hingga seorang lelaki yang kutebak usianya kira-kira empat atau lima tahun di atasku, datang dengan senyum mengembang.

"Yang mana?" katanya dan teman mama menujukku.

Ini mungkin lelaki yang akan menemaniku malam ini, tapi bukan ia yang dimaksud mama, yang memberikan tarif sepuluh juta, sesuai permintaan lelaki itu, harus yang sekali dua kali pakai, maka mama memintaku untuk melayani dua orang lelaki dulu sebelum berjumpa dengannya.

Langkahku berat, mama terus mendorong tubuhku untuk membonceng di belakang lelaki itu, hancur sudah diriku malam ini, ingin rasanya lari, tapi dengan lari tidak akan membuat bapak sembuh. Tuhan, di atas sepeda motor ini, aku berkali-kali memohon ampunan.

#ODOPDay47

Comments

Popular posts from this blog

Tersembunyi di Balik Asumsi (1)

Perjumpaan Dengan Beringin

Altha: Diluar Nalar