Ritual 'Sabar'

"Sabar, Tio."

"Sabar, Tio." Ibu selalu mengulangnya berkali-kali, tapi tidak lagi membuatku jengkel, kalimat itu telah menemaniku bahkan sejak aku belum mengenal aksara, apalagi mengenal makna. Tio hanya coba menghubungkan mainan yang tidak kunjung dibelikan dengan kata 'sabar', menghubungkan nasi yang lama sekali berada dalam dandang, sementara perutku sudah keroncongan dengan kata 'sabar', menghubungkan nasi yang sedikit dan dibagi beberapa piring, padahal perutku masih sangat lapar dengan kata 'sabar'.

Kata sabar selalu berbalut dengan senyum teduh Ibu, dengan gerakan tangan yang mengelus dada dan aku yang merengek berganti melongo menatap Ibu dan mulai memelankan suara, tanganku menirukann gerakan tangan Ibu dan mendadak melupakan keinginanku.

"Tidak semua yang kita inginkan harus terpenuhi sekarang ya, Nak. Selalu ada keadaan yang membuat kita harus bersabar menunggunya" Kalimat itu terlontar di depanku dengan Ibu yang berjongkok sembari mengelus pelan rambutku.

Sikap Ibu selalu seperti itu, sejak dulu, tidak pernah bentak-bentak seperti Ibunya Budi dan Nani, apalagi sampai mencubit atau memukul bagian anggota tubuhku, apapun keadaannya, seburuk apapun nilai raportku, atau aku yang pulang dalam keadaan berantakan selepas puas bermain sepak bola dengan kawan di lapangan, baju putih berubah warna menjadi cokelat, atau yang lebih parah lagi saat Anton menendangku di lapangan saat aku tidak sengaja mendorong tubuhnya karena bercanda dan aku pulang dalam keadaan paling berantakan, darah yang mengalir dari hidung belum berhenti.

Setelah pintu terbuka dan Ibu melihatku yang digandeng kawan-kawan, Ibu terlihat sedikit panik tapi tidak melepas senyum di bibirnya.

"Kalau tidak begini, tidak tau rasanya sakit. Kalau tidak begini, besok bakal lakuin kesalahan lagi. Sakit Tio?" ucap Ibu kala itu mengobati lukaku.

"Sakit, Bu."

"Kalau sakit berarti?" Ibu selalu memancingku dengan pertanyaan-pertanyaan semacam ini.

"Berarti nggak boleh diulangi lagi. Tapi Tio tadi cuma becanda, Bu. Kok Anton malah mukul, aku ya mukul balik, setelah itu aku ditendang." Aku mencoba memberi penjelasan tentang kenyataan yang sebenarnya.

"Ibu sering bilang apa, Nak?"

"Bilang, Sabar Tio. Tapi aku cuma nggak mau dipukul, soalnya sakit."

"Lebih sakit mana, dipukul dan nggak berdarah, tapi ditendang dan berdarah?"

"Dipukul dan nggak berdarah," jawabku singkat.

"Andai tadi Tio inget pesan Ibu, pasti sakitnya nggak seberapa." Jelas Ibu dan tangannya masih berada di sekitar hidungku, membersihkan bercak darah yang mulai mengering.

"Besok Tio bakal ingat pesan Ibu, terima kasih, Bu," jawabku dan merangkulnya.

Mungkin mbak Denis mengenal kata itu sudah lebih lama lagi, bahkan hal yang sama seperti ucapan Ibu, turut serta mbak Denis tuturkan padaku dan pada dirinya sendiri. Pernah waktu itu, sepulang sekolah, aku yang dibonceng mbak Denis hampir saja menabrak pohon di sekitar sekolah, saat salah seorang kawan mbak Denis, yang kata kebanyakan teman-teman tergolong nakal, saat itu mengendarai sepeda cepat di sebelah kami, tanpa melihat keadaan, ia hampir saja menyerempet kami dan satu kata yang keluar dari mulut mbak Denis adalah,

"Sabar, Denis. Sabar."

"Kenapa harus sabar terus sih, mbak?"

"Kata Ibu, harus sabar biar disayang Allah."

"Sabarnya sampai kapan?" tanyaku.

"Kata Ibu, sabar itu nggak ada batasnya, Dik."

"Bahkan setiap kali mbak Denis minta dibelikan handphone sama Bapak dan Ibu, beliau selalu bilang, 'sabar lagi dan sabar terus ya, Mbak."

Di belakang mbak Denis aku jadi kepikiran bahwa, betapa Tuhan teramat baik padaku, bahkan disaat teman-temanku beberapa kali dapat Omelan dan cubitan saat meminta ini dan itu pada Bapak dan Ibunya, aku hanya menerima sebuah ritual 'sabar' dengan tindakannya yang kemudian ikut kupraktekkan setiap harinya.

Bersambung..

#ODOPDay30

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tersembunyi di Balik Asumsi (1)

Perjumpaan Dengan Beringin

Altha: Diluar Nalar