Tersembunyi di Balik Asumsi (1)

Sumber: Google

Bocah lelaki berbaju putih kecokelatan berjalan gontai melewati jalan setapak. Baju itu adalah hadiah dari bapaknya yang pulang bekerja tempo hari, katanya diberi seseorang yang tidak dikenal. Kala itu wajahnya sumringah menerima bingkisan seragam sekolah, biarpun tidak baru, pakaian itu lebih dari cukup menyelamatkannya dari gigitan semut dan masuk angin, baju lamanya yang bolong sana-sini membuatnya sering bentol-bentol saat melewati pohon jambu di dekat sekolah dan sesekali membuatnya masuk angin saat musim hujan tiba.

Dengan membawa lembaran hasil ujian, hatinya terus berdoa, semoga siang ini mak punya uang untuk memasak dan menanak nasi, karena ujian tadi membuatnya berpikir ekstra keras dan secara tidak langsung membuat cacing-cacing diperutnya meronta.

"Assalamu'alaikum," Sampai di depan pintu bocah itu melepas sepatunya dan mengucapkan salam.

Mak dari dalam menjawab salam dan tersenyum, jagoannya pulang menimba ilmu. Bagi Mariati sekolah adalah satu hal yang amat penting, ia bahkan rela membantu suami bekerja demi sang buah hati menikmati bangku sekolah. Baginya sekolah bukan hanya perihal mengangkat derajat keluarga, lebih dari itu, ia berharap jika sekolah bisa membuat putranya tau apapun yang tidak bisa ia beritahukan, baginya pembelajaran di sekolah rakyat tempo dulu, tidak cukup untuk dibagi pada putranya.

Belum lagi era modern, diluaran sana banyak orang mulai berbincang soal robot, atau mulai menggunakan benda mirip televisi yang disebut komputer, mak tidak tahu-menahu soal itu, maka pada tangan gurulah harapan besar mak ditangguhkan, semoga orang yang menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi itu, membagi semua pengetahuan pada putranya.

"Kau sudah pulang, Nak." Sapa mak, mengelus puncak kepala Fairish, tangannya menyentuh butir keringat yang menetes di pipi putranya.

"Mak ... " Fairis menahan bicaranya, ingin menanyakan perihal santapan siang ini.

"Iya, kenapa, Ris?" Suara lembut mak menjawabnya, membuat bocah itu sesekali melirik mak yang tengah menatapnya.

"Fairish lapar, Mak." Dengan hati-hati dan suara yang dipelankan ia memberanikan diri berucap.

"Walah, Cung. Ayo makan, Mak masak hari ini." Jawaban mak, membuat Fairish seketika berlonjak.

Hal ini terjadi sangat jarang dalam hidupnya, mendapati makanan di meja makan sepulang sekolah, biasanya ia harus rela menunggu bapak pulang menjelang petang dan membawa uang untuk mak memasak, itupun harus menunggu lagi sekitar satu jam lamanya, sampai beras berubah menjadi nasi dan sampai telur matang.

Jika di sudut-sudut kampung dan di sekitar rumahnya, bocah-bocah seusia Fairish datang sekolah menagih janji bapak ibunya untuk dibelikan mainan atau sepedah baru, permintaan Fairish saat pulang sekolah justru tentang makan siang, baginya tidak pantas berkeinginan untuk meminta yang lebih-lebih pada mak atau bapak, makan sehari dua kali saja cukup membuatnya bahagia, seperti nasehat mak yang selalu didengarkannya menjelang tidur.

"Jangan lihat ke atas, Nak. Kalau terus-terusan lihat ke atas, kita akan lupa bersyukur. Tapi tengoklah orang-orang di sudut sana, yang bahkan sehari belum tentu makan." Kalimat itu selalu menjadi kalimat penutup sebelum ia terlelap.

#ODOPDay51

Comments

  1. Penasarab dengan kisah Fairish di sekolah. Kira-kira jadi apa ya untuk mak, bapaknya?

    ReplyDelete
  2. Terharu dengan semangat mak menyekolahkan Fairis. Emak yang hebat!

    ReplyDelete
  3. Jangan lihat ke atas, nak
    Sungguh buatku terharu

    ReplyDelete
  4. pesan Mak yang dalam banget maknanya ...

    ReplyDelete
  5. Terharu aku bacanya, kisah yg bagus banget mba tentang mak yg mengajarkan arti bersyukur

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Perjumpaan Dengan Beringin

Altha: Diluar Nalar