Korupsi

Ruangan ini pengap dengan suara-suara penghakiman, sementara aku masih sibuk mencerna kata-kata yang ditulis seorang penulis muda dari kabupaten sebelah, diangkatnya sebuah tema tentang tangisan ibu pertiwi akhir-akhir ini.

Topik hangat jadi perbincangan, ditemani secangkir kopi atau teh, dan beberapa potong gorengan yang tersaji di atas piring. Teman kerjaku ikut nimbrung, berapi-api ia menyampaikan argumennya.

"Ngapain dipilih lagi, lah selama menjabat, tidak ada wujudnya, lihatlah bahkan balai desa saja hampir roboh," Danang mulai menyampaikan argumennya.

"Selama ini uang dari pemerintah kemana? dilahap dia dan aparat-aparatnya apa?" Bapak paruh baya yang duduk bersila mulai nimbrung.

"Iya mungkin." Sembari mengembuskan asap yang mengepul, tukang ojek di sebelah Danang menyahut.

"Kalau sudah kayak gini, masih mau pilih lagi?" Bapak berbaju batik dan bawahan hitam datang-datang langsung menyahut.

Aku tidak menggubris kalimat-kalimat yang mereka sampaikan, bukan karena aku  mendukung kubu sebelah, hanya masih ragu menentukan pilihan. Tapi, tidak harus berbicara ngalor-ngidul tentang apapun yang tidak kita ketahui bukan? Maka diam bukan berarti bungkam, ada telinga yang menangkap dan otak yang mencerna.

"Banyak korupsi dia," ucap Danang dengan suara lantangnya.

"Iya setuju, banyak korupsi. Ngapain kita dukung." Bapak berbaju batik tak kalah berapi-api.

Mengingat hari-hari bersama Danang yang sering datang terlambat dari jam yang sudah dijadwalkan dan Bapak berbaju batik yang tak lain adalah guru bahasa inggrisku semasa SMP, yang lebih sering memberikan tugas dan Pekerjaan Rumah, serta lebih banyak meninggalkan kami di kelas, dalam keadaan gaduh sendiri.

Mendengarkan pembicaraan itu, aku membatin,

"Kenapa lebih banyak manusia memikirkan korupsi orang lain, tapi tidak menyadari korupsinya sendiri."

#ODOPDay32

Comments

Popular posts from this blog

Tersembunyi di Balik Asumsi (1)

Perjumpaan Dengan Beringin

Altha: Diluar Nalar