Altha: Diluar Nalar

Sumber gambar: Google

Suasana di ruang tamu terlihat sepi saat aku keluar kamar dan berusaha menghilangkan bekas air mata, mencoba terlihat baik-baik saja. Saat aku melintas di depan kamar nenek, terlihat beliau yang kusyu dalam salat malamnya, sementara mama di atas ranjang sudah tertidur lelap, mereka tidak melihat aku yang melintas untuk pura-pura ke kamar mandi, padahal ingin menyaksikan keadaan di luar kamar setelah terdengar ucapan yang menyakitkan.

Aku masuk ke kamar mandi hanya pura-pura mencuci tangan dan melintas kembali di depan kamar nenek, otakku berpikir lebih jauh lagi setelah sebuah pengakuan gamblangnya beberapa menit yang lalu, mereka menyebut dirinya sebagai pekerja malam, tapi melihat nenek yang menangis di atas sajadahnya malam ini, rasa-rasanya seperti sebuah hal yang mustahil, mungkin karena image seorang pekerja malam bagi kebanyakan orang adalah buruk, padahal sebuah kenyataan yang tidak pernah mereka ketahui, selalu ada kemungkinan jika merekalah yang lebih bersungguh-sungguh dan antusias berjumpa Tuhan, bahkan ketika semua manusia yang suka menilai orang lain itu sedang tertidur lelap, seorang yang dianggapnya hina justru berjumpa Tuhannya dan menyesali dosa-dosa.

Nenek terbatuk dan menoleh ke arahku yang masih mematung di depan pintu, aku bahkan tidak sadar saat nenek mulai beranjak melipat sajadahnya dan mendekat ke arahku.

"Kamu belum tidur atau baru saja bangun tidur?" suara nenek membuyarkan lamunanku.

"Tidak bisa tidur, Nek." Jelasku singkat, berusaha memperlihatkan senyum terbaikku, mencoba menjadi Altha yang belum mendengar semua hal jahat yang mereka bicarakan beberapa menit yang laku.
"Katanya kamu ngajar les, Tha?" nenek bertanya dan kujawab dengan anggukan.
"Nanti ngajar?" sekali lagi pertanyaan nenek kujawab dengan anggukan.
Mendengar pembicaraan kami, mama tersadar dari tidurnya, menatap kami yang masih mematung di depan pintu, ia bergegas mendekat dan menyapaku.
"Altha, aku mau bicara sesuatu sama kamu," ucap mama mengerjap, mencoba menanggalkan kantuk yang tersisa. Deg, sejak kalimat itu diucapkan, jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya, tangan dan kakiku mulai bergetar, sementara wajahku dipenuhi bulir keringat.
Nenek menarik tangan putrinya itu sedikit mundur ke belakang, mereka membicarakan sesuatu dan seolah terjadi perdebatan, lelah membantah ucapan mama, nenek akhirnya menyerah dan membiarkan mama mengajakku duduk di ruang tamu, dan semua pembicaraan yang sampai di telingaku setengah jam yang lalu, sekarang kudengar sendiri tanpa batasan pintu.
"Kamu tau nggak Bapakmu di mana?" Mama memulai pembicaraan, aku menunduk, tidak berani menatap matanya yang mulai berapi-api, bahkan untuk pertanyaan awal saja aku enggan menjawab.
"Bapakmu di rumah sakit, meregang nyawa dan butuh banyak biaya. Dua hari sebelum kamu pindah ke rumah ini, Bapakmu mengalami kecelakaan, beberapa tulang retak, ada juga yang diamputasi, lebih parahnya kepala Bapakmu terbentur aspal, ada sedikit pendarahan di otaknya, dan rencananya besok akan dioperasi, yang sangat disayangkan biaya operasi tidak murah." Dijelaskan dengan detail semua kejadian, teka-teki hilangnya bapak dan kepergian mama setelah menerima telepon seseorang waktu itu, hari ini kudengar jawabannya, di sebelah mama aku sesenggukan.
"Maafkan aku yang sempat mengiramu sebagai wanita jahat."
"Aku cukup tau, bukan hanya kamu, semua orang diluaran sana pasti mengira aku jahat, dan aku tidak perduli dengan itu. Sekarang yang aku perlukan bukan permintaan maafmu, tapi tolong bantu aku berpikir dari mana harus kudapatkan uang untuk biaya operasi?"
Aku tertegun tidak menjawab, teringat tabungan yang hanya berisi uang satu jutaan yang tidak mungkin cukup untuk membiayai operasi bapak, dan kutawarkan itu pada mama, lelah pikiran dan hatinya, membuatnya menertawakanku,
"Uang satu juta cukup buat apa? Puluhan juta uang hasil penjualan rumah sudah ludes masuk rumah sakit." Ia mengucapkan itu dengan wajah seolah menyerah.
"Ada satu hal berat yang terpaksa kutawarkan padamu demi kesembuhan bapak kalian."
Aku paham kalimat ini akan menjadi guntur yang menamparku di waktu yang sepagi ini, hatiku sungguh kalut, pikiranku tidak karuan, tapi sebelum menjelaskan semuanya, aku melihat mama menyeka air mata.
"Temanku menawarkan satu pekerjaan hina, menjadi wanita malam, ya menjadi wanita malam sepertiku. Pelanggannya kali ini meminta teman kencan orang yang baru satu dua kali pakai, dalam waktu semalam kita bisa mengantongi uang sepuluh juta rupiah."
Tangisku pecah, tidak tahu apa yang harus kusampaikan, mengingat semua pesan ibu, ingin rasanya aku menolak secara terang-terangan, namun melihat kondisi sekarang ini, melihat bapak yang meregang nyawa di rumah sakit, haruskah kubiarkan bapak begitu saja? Tapi ini juga tentang harga diri, ah entah, aku hanya terus memohon pada Tuhan, semoga apa yang terjadi sekarang ini hanya sebuah mimpi.
Otakku coba mencari jawab, menatap mama yang sekarang mulai memalingkan muka, ia menangis, aku mulai memeluknya pelan, seolah ingin mengatakan tidak adakah pilihan lain yang harus kutempuh supaya bisa menyelamatkan bapak, tapi tidak menajatuhkan harga diriku, tapi mulutku kelu untuk mengucapkan, aku hanya ingin menangis, menumpahkan segala hal yang memenuhi kepalaku semenjak kepergian ibu. Ia merespon pelukanku, dipeluknya tubuhku semakin erat, kepalaku beberapa kali diciumnya.
"Maafkan Mama, Tha," ucapnya sesenggukan.
"Maafkan Mama." Hanya puluhan kata maaf yang terdengar dan aku masih enggan melepaskan pelukannya.

#ODOPDay45

Comments

Popular posts from this blog

Tersembunyi di Balik Asumsi (1)

Perjumpaan Dengan Beringin