Ucapan 'Selamat Tinggal' di Suatu Malam

Sedang mencoba 'mengawinkan' alunan nada dan serentetan kata-kata.
Tips membaca cerita: Putar dulu videonya dan mulai membaca ceritanya hehe.
Semoga bener-bener 'kawin'.

---

Sumber: Youtube

Malam itu ia datang dengan senyum yang tidak seperti biasanya dan anehnya ia menjadi sosok yang mulai memikirkan perkataan orang lain atas dirinya, padahal sebelumnya, kalimat 'bodo amat' yang selalu ia utarakan untuk menasehati, selalu mampu membuatku meredam tangis dan amarah.

"Mereka semua hanya sok tau tentang hidup lo. Percuma juga ngejelasin tentang diri lo ke mereka, lagian mereka juga bakal tetep berdiri diatas asumsinya. Kalau nyakitin, tutup kuping. Oke." Kalimat itu berulang sampai di telingaku, selepas curhat yang panjang.

Tapi malam itu, ia merenungi diri sendiri, selepas mendengar banyak perkataan orang-orang di sekitarnya,

"Kau mau jadi apa? Jadi mahasiswa abadi? Ngapain terus-menerus ikut demo, mending selesaikan skripsimu, biar segera diwisuda." Ia mengulangi kalimat yang disampaikan Bapak dan saudara lelakinya.

"Kamu bakal tetap mendukungku kan, Fa?" ucapnya.

Aku menyimak dengan seksama ucapannya, sembari melihatnya yang terus menunduk, ia berbeda malam itu. Katanya, ia mendadak lemah, memilih absen rapat di kampus, yang membahas tentang aksi yang akan dilakukan esok hari.

"Kalau setiap kali aku tanya, kamu ngapain sih ikut demo? Mending nemenin aku makan atau nonton. Kamu selalu jawab kayak gimana?" kulontarkan pertanyaan.

"Kalau sebagai anak muda kita cuma bisa lakuin aktifitas main, makan, nonton dan jalan. Lalu siapa yang harus jadi lidah rakyat untuk menyampaikan segala keluh kesahnya? Kalau kamu memilih menjadi anak muda yang suka makan, nonton dan jalan. Lakuin. Aku milih jadi anak muda yang turun ke jalan dan menyampaikan keluh-kesah rakyat. Apakah aku keliru?" ia mengulangi jawaban yang sering dilontarkan waktu itu.

"Masing-masing anak muda punya cara untuk mencintai negerinya. Ada yang memilih makan dan nonton tapi dibaliknya dia membuang sampah pada tempatnya, dengan cara seperti ini juga sebuah tindakan mencintai negeri. Ada yang diam menikmati gadged di rumah, tapi diam-diam berdonasi membantu korban bencana, juga wujud mencintai negerinya, dan banyak lagi tidakan yang lain sebagai wujud mencintai negeri. Kalau caramu mencintai negeri ini dengan demo, ya aku menghargai itu. Kamu keren dengan caramu." Aku mengulangi jawaban yang juga sering kulontarkan waktu itu.

"Kenapa sekarang mendadak memikirkan ucapan orang lain. Kamu paham betul kan, jika apa yang kamu lakukan itu adalah tindakan yang benar? Ya sudah, ngapain ngurusin orang lain. Tentang lulus, aku yakin, otakmu yang cerdas itu cukup bijak ambil tindakan, kapan harus lulus dan kapan harus menunda." Kataku coba menenangkan.

"Terima kasih, Fa. Besok aku berangkat demo."

"Nah gitu dong. Jangan gampang goyah ah, anak muda harus punya pendirian."

"Fa, ngomong-ngomong kamu masih ingat kalimatku waktu lalu?"

"Yang mana?" jawabku.

"Yang ini, kita mungkin sekarang dekat sebagai sahabat dan enggak pacaran. Tapi, aku yakin, kalau nanti yang duduk dipelaminan denganku adalah kamu. Inget baik-baik ya. Tunggu, aku nuntasin tugasku dulu, aku berjuang dulu, besok kalau sudah tuntas, aku bakal ketemu orang tuamu. Inget baik-baik ya kalimatku ini." Ucapnya sembari terkekeh.

"Ngomong apa sih lo, ngaco," balasku.

"Tunggu aja tanggal mainnya." Ia berdiri dari tempat duduknya dan berlalu dengan senyum yang mengembang.

Keesokan harinya, tiada satupun pesan darinya yang mendarat ke ponselku. Hari itu ia turun ke jalan, mungkin tidak sempat mengabariku. Hingga menjelang sore, sebuah panggilan telephone membuatku patah dan berantakan.

"Rafi, ditemukan tewas dengan kepala yang memar dan beberapa anggota tubuhnya berdarah." Ibunya menyampaikan itu sembari menangis.

Pandanganku kabur dan aku tidak sadarkan diri. Ucapannya malam itu masih terngiang di telingaku, perjumpaan waktu itu adalah perjumpaan yang terakhir kali dan kala itu, di samping tubuhnya yang terbujur kaku kukatakan,

"Tugasmu tuntas, terima kasih untuk segala perjuangan dan pengorbanan untuk negeri ini, meskipun tentang ketemu orang tuaku dan duduk di pelaminan bersamamu tidak lagi menjadi nyata. Kau hebat versiku. Kau luar biasa, Fi. Yang Tenang di sana, Tuhan lebih menyayangimu."

Fi, apa-apa tentangmu selalu menjadi hal yang paling menyakitkan untuk dikenang, tapi aku mau berterima kasih tentang beberapa hal yakni tentang rasa yang kau titipkan di sini dan kenangan tentangmu yang akan selalu hidup di kepalaku.


#ODOPDay23
#Fiksi

Comments

Popular posts from this blog

Tersembunyi di Balik Asumsi (1)

Perjumpaan Dengan Beringin

Altha: Diluar Nalar