Altha: Namanya Hitam


 


 Sumber: Google

Sebuah buku tergeletak tepat di sebelahku, saat aku mulai duduk dan kembali mengatur nafasku yang tak karuan, jarak antara tempat kos dan stasiun lumayan jauh, ditambah tempat dudukku yang sedikit bersembunyi di antara kerumunan, lelaki itu tidak akan mungkin menemuiku, untuk urusan mama biar kupikir nanti, harus kunormalkan kerja otak dan hatiku terlebih dahulu, setelah keadaan mencekam beberapa menit yang lalu, sebuah kejadian yang tidak akan kulupakan seumur hidupku, semua detail kejadian membekas di ingatanku.


Memegang buku itu, aku coba mengamati sekitar mungkin diantara mereka ada yang merasa bukunya terjatuh atau tidak sengaja tertinggal, namun semua orang di sekelilingku sibuk dengan dirinya sendiri, sebagian mengobrol, sebagian yang lain menyandarkan tubuhnya pada kursi tunggu, wajah-wajah lelah terlihat di sana, mungkin pekerjaan seharian tidak memberinya kesempatan untuk beristirahat.
 
Dengan lancang aku memegang buku itu, membaca judulnya pelan-pelan,

"Yang mereka sebut noda." Membacanya pelan dan mengulanginya berkali-kali, coba menebak-nebak isi dari buku ini, kemudian mataku bergeser pada bagian bawah sampul buku, kubaca lamat-lamat sebuah nama,

"Hitam." Aku mengejanya, sebuah nama yang aneh dan cukup unik, otakku coba terus menebak dengan judul yang begitu menarik, seorang penulis menamai dirinya sebagai hitam, sebuah warna yang identik dengan hal-hal buruk, ini bagi kebanyakan orang, tapi tidak bagiku, hitam atau putih yang nampak diluar selalu memiliki makna yang susah ditebak, karena yang hitam belum tentu buruk, sementara yang putih belum tentu baik, toh ada yang sengaja terlihat buruk dan menyembunyikan baiknya, karena penilaian sejatinya bukan dari siapapun orang yang melihat kita, tapi sejatinya yang menilai hanya Tuhan.

Sudah kupastikan ada alasan tersendiri ketika seseorang menamai dirinya sebagai hitam. Aku membalik buku dan membaca ulasan singkat.

Aku mulai paham ketika semua manusia merasa pandai menilai apapun yang dilihatnya, termasuk menilai ibuku sebelah mata, kami yang hina menurut mereka adalah kami yang terus berusaha mencari sesuap nasi untuk makan esok hari, persetan dengan segala perkataan keji.
 
Membaca kalimat itu dan mengulanginya sampai tiga kali, saat ini aku perlahan melupakan apapun yang terjadi beberapa menit yang lalu, pikiranku mendadak fokus pada sebuah buku yang seperti mewakili semua yang sedang kurasakan, aku jadi mengingat mama, bukankah yang dimaksud ibu dalam kalimat itu senada dengan ucapan antara nenek dan mama yang kudengar pagi tadi?
Sampai pada menit-menit berikutnya aku masih menunggu pemilik buku, yang mungkin datang dan membawa buku yang sudah menyita perhatianku untuk dibawa pulang, tapi dalam hati aku memohon semoga pemiliknya sengaja meninggalkan buku ini di sini, atau mungkin membiarkan dan mengikhlaskan buku ini menghilang, ah akan kubawa pulang, akan kunikmati nanti malam, aku sudah tidak sabar membawanya pulang, membacanya lembar demi lembar.

Mungkin memang rejeki, hingga semua penumpang satu per satu melesat ke tujuannya masing-masing, buku ini tetap ada di tempatnya. Buku ini jadi milikku. Aku menengok jam yang menunjuk angka dua belas, sudah larut malam, tapi aku tidak berani pulang, mungkin lelaki itu sudah menelepon mama beberapa jam yang lalu, persis saat aku dengan perasaan tidak bersalah meninggalkannya yang sudah membayarku.

Sudah kupastikan mama akan marah dan mungkin akan terjadi perdebatan di ruang tamu, maka kuurungkan niatku pulang. Dengan langkah gontai tanpa tujuan, kakiku melesat keluar stasiun, pikiranku melayang entah kemana, bayangan lelaki itu dan mama bergantian muncul di kepalaku, hingga,

Bruk
 
Seseorang menabrakku, buku yang kupegang melesat jauh di bawah kaki seseorang itu, aku yang terjatuh mencoba menggapai buku itu, namun tangannya lebih dulu mengambil dan menyodorkan buku itu ke arahku.
"Maaf, aku nggak sengaja," ucapnya.

"Kamu nggak salah, aku yang tadi jalan sambil ngelamun." Jawabku tanpa menoleh ke arahnya, tanganku masih sibuk membersihkan kotoran yang menempel pada lutut.

Sampai pada kata akhir, orang itu masih mematung di depanku, aku mendongak dan melihatnya dengan senyum mengembang, satu kata yang terlintas di kepalaku,

"Keren,"

Postur tinggi, rambut kelimis ala anak muda jaman sekarang, pakaian yang rapi, di punggungnya sebuah tas ransel menempel dan yang lebih menenangkan lagi, senyum itu, bahkan membuatku tidak berkedip beberapa detik.

"Kamu suka sama bukunya?" Pertanyaanya yang kemudian menyadarkanku dan aku gelagapan menjawab,

"Suka pas lihat cover sama beberapa kalimat yang tertera di cover, isinya belum kubaca," jawabku.

"Ada kalimat apa di covernya, sampai kamu bisa suka padahal baru lihat cover?"

"Ini, baca deh!" Kataku dan menyodorkan buku itu di depannya.

Ia membacanya dan mengangguk-angguk, seperti baru saja memahami suatu hal.

"Kenapa suka?" tanyanya sekali lagi.

"Pas aja," jawabku singkat.

"Pas?"

"Iya, pas sama kejadian yang pernah saya dengar, dan mungkin saya alami." Selepas mengucapkan kalimat itu, aku mengumpat dalam hati, merasa diriku teramat bodoh dengan lancangnya mengatakan itu, sebuah privasi yang tidak harus diketahui banyak orang. Menyadari itu, aku bergegas menarik buku yang ada dalam genggaman lelaki itu, dan hendak melangkah pergi, tapi suaranya membuatku berhenti sesaat,

"Seriusan?" Ia bertanya penuh penekanan.

Tanpa menjawab, aku bergegas pergi, meninggalkan pertanyaanya yang menggantung tanpa jawaban, hingga sebuah suara membuatku hampir menghentikan langkahku lagi,

"Hey, namaku Dirandra, semoga suatu saat kita bisa berjumpa lagi, semoga suatu saat kamu berkenan menceritakan kisah yang serupa," ucapnya dari kejauhan, telingaku menangkap itu dengan jelas.

"Bodo amat." Batinku dan kembali melanjutkan perjalanan, mencari satu tempat yang bisa membuatku menyandarkan punggung dan terlelap.

#ODOPDay49

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tersembunyi di Balik Asumsi (1)

Perjumpaan Dengan Beringin

Altha: Diluar Nalar