Posts

Showing posts from September, 2019

Review Kumpulan Cerpen "11:11" Karya Fiersa Besari

Image
Sumber: Instagram Fiersa Besari Buku ke lima karya Fiersa Besari, yang menyedot perhatian saat pertama kali rilis, booming nya kumpulan cerpen yang satu ini tidak kalah dengan buku sebelumnya yang juga terbitan Media Kita yaitu Novel yang berjudul “Konspirasi Alam Semesta (Kolase)” dan “Catatan Juang”, kumpulan prosa yang berjudul “Garis Waktu”, serta buku catatan perjalanan yang berjudul “Arah Langkah”. Sebenarnya bisa tertebak isi buku dengan tema apa yang akan ditulis oleh seorang Fiersa Besari, yang merupakan seorang musikus, pendaki gunung, penulis dan menurutku beliau juga seorang pemerhati keadaan negerinya, yang terlihat dari beberapa postingan di akun media sosial yang ia gunakan yang seringkali membahas tentang isu-isu sosial dan kemanusiaan, hal ini berbanding lurus dengan karya-karyanya yang mengangkat tema yang sama, begitu pula pada Kumpulan Cerpen “11:11”. Kumpulan Cerpen yang berjudul “11:11” adalah Albuk alias Album buku yang terbit pada tahun 2018, me

Yang Terasingkan: Menuntaskan Kewajiban

Pagi itu aku datang kembali memberanikan diri membawa selembar surat itu, awalnya memang sudah kuduga lelaki itu akan bentak-bentak di depanku, beberapa kali ia hampir memukulku dan kubiarkan hal itu, namun wanita itu rupanya masih sedikit membelaku dengan beberapa kali pula mencegah tangan itu memukulku. “Mau apa lagi kau datang kemari?” ucap lelaki itu.   “Untuk terakhir kali saya datang kemari, mau meluruskan sesuatu, demi ketenangan Ramsha, mohon untuk diijinkan menyampaikan sesuatu,” jawabku. Duduklah kami di ruang tamu, kali ini Ibunya tidak memainkan handphone seperti tempo hari, memandangku lekat-lekat. “Mohon maaf sebelumnya, Pak, Bu. Mengingat semakin kesini penderitaan Ramsha terasa semakin menjadi, saya hendak memberi tahu, apa yang mungkin belum Bapak Ibu tahu, ada sebab yang membuat Ramsha melakukan tindakan-tindakan yang selama ini dirasa mengancam banyak nyawa dengan pisau lipatnya,” ucapku, mereka menyimak dengan seksama. “Semua penyebabnya,

Yang Terasingkan: Mengoreksi

Kami berhenti disebuah warung makan, mengingat makanan yang tersaji di kamar belum terjamah olehnya, maka dengan sok tahu menduga perutnya lapar, benar dugaanku, dengan lahap ia memakan makanan yang disajikan. “Sejak kapan dikurung?” tanyaku. “Setelah kau pulang aku dihakimi, lelaki itu menjelaskan pada Ibu jika penyebab luka itu adalah aku, dia tidak mengakui tentang alasanku memperlakukannya begitu. Seolah semua titik salah memang ada padaku,” jelasnya. “Kau kenapa tiba-tiba datang ke rumahku?” ia bertanya, kemudian melanjutkan memakan makanan yang masih tersisa. “Hendak memintamu pada Bapak Ibumu,” jawabku singkat, membuatnya tersedak. “Maksudmu?” “Melamarmu.” “Hah. Seriusan? Ini nggak bercanda?” ia memastikan kebenarannya dan aku mengangguk mantap. Setelahnya tidak ada kelanjutan membahas tentang hal itu, ia mendadak berubah, sesekali menatapku dan merenung, lebih banyak diam. Selepas makan, kami berjalan menyusuri jalan yang sama seperti tempo hari

Yang Terasingkan: Membekas

Selepas menyodorkan gadged dan ia mulai membaca, sesekali ia menunjukkan kepadaku bagian yang susah ia lafalkan, aku membacanya dan ia menirukan apa yang kusampaikan. “Sha.” Sapaku, membuatnya menghentikan aktifitasnya sesaat dan menoleh ke arahku. “Hm,” jawabnya. “Nggak semua hal harus diselesaikan dengan pisau lipat itu, Sha.” “Dalam keadaan yang seperti tadi, pisau itu harusnya menembus jantung si keparat itu, biar mati sekalian,” jawabnya dengan mata melotot, jawaban yang tegas. “Kalau dia nggak mati, hal itu akan terulangi lagi.” Belum juga menjawab, ia melanjutkan perkataannya. “Semua orang akan ada pada fase buruk sebelum baik, Sha. Siapa tahu dia khilaf." “Gue nggak perduli dia khilaf atau apalah, dia mungkin bisa jadi orang baik setelah itu, tapi bagaimana dengan si wanita yang menderita seumur hidupnya. Lo nggak pernah jadi korban, makanya lo dengan entengnya bisa ngomong kayak gitu.” Kali ini mukanya merah padam, ada amarah yang terlihat.

Yang Terasingkan: Ramsha (Perempuan Istimewa)

Ia mengangguk, tanpa basa-basi lagi ia berdiri dan melangkahkan kaki menjauh dariku yang baru saja duduk di sebelahnya. “Sha, tunggu!” Kataku mencoba menahan langkahnya. Jalanan yang riuh, membuatnya terus berjalan tanpa mendengar kalimatku yang berusaha menahannya, hal ini kulakukan demi bisa mengenalnya, satu alasan yang membuatku kukuh ingin berkenalan: karena aku seperti menemukan diriku yang lain ada pada dirinya, manusia yang mau tidak mau harus menerima keadaan yang mencekam, bahkan sebelum kuketahui banyak perkara yang menimpanya selama ini. Namun aku yakin jika wajah datar dengan kelakuan yang hampir saja melenyapkan banyak nyawa, itu ada bukan karena keinginannya, tapi atas sebuah sebab dan alasan yang menyertai. Begini, aku jadi menganggap kita seirama perihal dunia yang seperti mengasingkan, dianggapnya kita manusia yang paling hina di muka bumi, tanpa mau tahu apa yang sejatinya kita alami. Dengan berusaha ingin mengenalnya, sebenarnya hal itu membuatnya terganggu,

Yang Terasingkan: Tentang Seorang Gadis

Tepat di depan sebuah rumah yang kemarin dimasuki dua wanita yang kubuntuti dari penjara, aku menunjuk. “Kau tau ini rumah siapa?” tanyaku. “Pak Doni, sama Ibu Laras. Kau tau, ada banyak tanda tanya di rumah itu,” jawabnya. “Tanda tanya?” “Kadang sering kudengar anaknya berteriak tengah malam. Tidak tahu apa sebabnya. warga sini pernah bilang jika gadis itu rada tidak waras, beberapa kali hampir menewaskan orang, Bapaknya hampir jadi korban.” “Disitu, di kamar atas, gadis itu sering terlihat murung. Aku mengamatinya dari kamarku.” Lanjutnya sembari menunjuk kamar yang dimaksud. Benar saja rumahnya berhadapan dengan rumah gadis itu, ia juga bercerita jika tidak pernah menyaksikan gadis itu tersenyum, bahkan justru ikut-ikutan parno mendekati gadis itu, rumor yang beredar mengatakan jika gadis itu beberapa kali menyerang laki-laki, diceritakan pula jika dalam satu minggu ini dua kali ia berurusan dengan aparat kepolisian, berhubung tidak ada korban dan Polisi menyadari jika

Yang Terasingkan: Perjumpaan Penuh Pembelajaran

Yang Terasingkan: Perjumpaan Penuh Pembelajaran Ruangan yang berisi puluhan orang berseragam, dengan masing-masing sel penjara yang berisi lima sampai enam orang, sebagian mereka mengutuk keadaan, sebagian lagi memilih lebih khusyuk menyapa Tuhan, ruangan pengap itu membuat masing-masing kepala sadar bahwa apa yang selama ini mereka lakukan adalah sebuah kesalahan. Aku terjebak berada pada satu tempat yang sama dengan mereka, pertama kali menginjakkan kaki di sini, kusangka semua yang terjadi adalah mimpi dan aku harus bangun untuk membuyarkan segalanya, namun kakiku menginjakkan kaki ditempat yang paling tidak ingin kusinggahi di dunia, awalnya aku seperti mereka yang mengutuk keadaan, kukatakan dengan lantang bahwa kejadian itu seolah menjebakku, tapi segalanya terlanjur diputar balikkan aku bisa apa selain mencoba memahami semua ini, dengan berusaha baik-baik saja, dan aku sampai pada fase dimana mendadak siang malam ingat Tuhan. “Segala yang terjadi di muka bumi sudah diatur

Yang Terasingkan: Khilaf

Seseorang dengan pakaian sarung dan baju koko berdiri di samping ranjangku, tanpa memanggil dan membangunkan, ia hanya menatapku lamat-lamat, yang tengah berusaha menanggalkan kantuk yang tersisa. “Semalam kamu minum lagi?” suaranya sedikit membuatku terjingkat. Seraya bangun, pikiranku mencoba mengingat hal apa yang terjadi semalam. Terakhir sebelum ‘terbang’ menyergapku, aku hanya mengingat jika kawan-kawan menyodorkan benda memabukkan itu padaku. Pikiranku masih kanak-kanak, tidak ada jalan lain yang harus kutempuh, kecuali kembali mengkonsumsi butiran obat dengan jumlah yang cukup banyak. Benda yang membuatku lupa segala permasalahan. Semalam sebenarnya aku berniat untuk tidak pulang, seperti malam-malam sebelumnya, aku takut kembali mengecewakan Paman. Kepada anggukan kepalaku yang menyatakan ‘siap’ berubah, ternyata kuingkari sendiri. Rasa rindu yang menyergapku semalam, kalah dengan perasaan kecewa yang semakin hari justru semakin menambah volumenya, sebagian dari tub

Fiksi: Berhayal

'Apakah ada yang lebih membahagiakan selain berhayal?' apalagi ditemani secangkir kopi dan mendengarkan alunan musik, betapa syahdunya. Jika diberi pertanyaan tentang genre tulisan, akan saya jawab berdasarkan kalimat di atas. Ya, genre tulisan yang kugunakan biasanya adalah: Fiksi. Fiksi itu identik dengan berhayal, bagiku bukan hanya kisah yang tidak nyata, namun kisah nyata yang sering kita jadikan tulisanpun masih perlu berhayal untuk membayangkan lebih jauh tentang alur, setting tempat dan waktu, interaksi antar tokoh, dan lain sebagainya. Untuk penentuan tema pada tulisan-tulisan saya, kebanyakan mengambil tema sosial dan humanistik, meskipun sesekali menulis cerita bergenre romance. Mengapa demikian? Salah satu faktor yang bisa menyebabkan tertarik untuk menulis cerita yang bertema humanistik dan sosial, kemungkinan berdasarkan jenis buku yang pernah saya baca. Misalnya buku karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Bumi Manusia, atau buku karya Fiersa Besari yang b

Topeng

"Pada jarak yang akan tercipta kali ini, aku tidak menyebutnya sebagai perpisahan, kau hanya minta pamit lebih dulu untuk memohonkan tentang 'kita' pada Tuhan." Batin Arini, air mata masih menggenangi kelopak matanya. "Raga siapa lagi yang bisa kupeluk seperti sebelumnya, suara siapa lagi yang bisa meredam amarahku," desisnya pelan. Suara-suara yang keluar dari mulut Arini, menyisakan duka mendalam bagi siapapun yang mendengarnya, banyak pelukan mendarat kearahnya, salah satunya Bapak Ibu Dimas dan Angga, adik kandung Dimas. Namun ia masih mematung, menatap kosong sebuah handuk yang tergeletak diatas kursi, handuk yang setiap hari digunakan Dimas setelah mandi, sesekali bola matanya bergerak ke arah ruang tengah, memandangi kursi yang sering mereka duduki, yang sering mereka pakai untuk merebahkan badan yang lelah seharian bekerja. Mendadak hatinya hangat, membayangkan pelukan ternyaman, kecupan mesra, dan tangisnya semakin menjadi. "Tuhan, s

Resiko Tertular

Kau masih ingat tentang ungkapan kita waktu itu, dijalan x, tepatnya di depan gedung DPRD yang sekarang menjadi tempatmu mengais rupiah. 'Jangan mau hak kita dirampas, merdeka' begitu kira-kira ucapanmu hampir bersamaan denganku. Seminggu setelah itu, sebelum kau memutuskan sebuah pilihan untuk bergabung dengan mereka, bukankah kita sempat terlibat perdebatan, kau dengan upayamu meyakinkanku jika tidak akan melakukan hal yang melenceng, katamu kau ada disana demi menyuarakan hak-hak kami yang selama ini tidak pernah diperdulikan. Sementara aku berusaha untuk menahanmu, karena bagiku jika sudah terjun ke dalamnya, akan ada resiko 'ketularan', lebih baik tetap ada disini, berjalan bersamaku menyuarakan apa-apa yang menjadi hak rakyat. Tapi katamu: Kau percaya padaku lah, aku tidak akan melenceng. Meski dengan hati berat kusetujui apa yang ingin kau lakukan. Seminggu dua minggu duduk bersama para anggota dewan, kau memang membuktikan ucapanmu, kau masih sering dat

Egomu Pemenangnya

Terakhir kau memaksaku untuk bercerita tentang Larasati, padahal sekian lama aku berusaha membunuh dirinya dalam hati dan pikiranku. Aku tau perihal rasa, akan banyak tentangnya yang akan menyakitimu, tapi kenapa, setiap kali ada celah kau terus mengarahkan pembicaraan kearahnya. "Aku tidak ada apa-apanya jika dibanding Larasati." Ia kemudian mencoba membandingkan dirinya dengan Larasati. Pahamku masing-masing wanita punya istimewanya, jika sudah begini aku seperti ingin mundur lagi, menanyai hatiku lebih dalam lagi, karena usahaku untuk mencintaimu mendadak sia-sia, harusnya dari awal aku paham, jika cinta bukan tentang usaha, tapi tentang nyaman dan terbiasa. Tapi, terbiasaku adalah mendengarmu mengulik lagi tentang suatu hal yang seolah terpaksa kujalankan, sungguh sejauh ini berjalan dan hidup seatap denganmu, aku selalu berusaha melibatkan hatiku didalamnya. "Kau tidak pernah benar-benar mencintaiku, aku tau itu," ucapmu sesenggukan. "Tetap ada

Penilaian

Sepagi ini telingaku riuh dengan celoteh tetangga, tentang rumah sebelah yang dihadiri lelaki asing. Penghuni rumah itu seorang janda beranak dua, tapi masih muda, kulit putih dan bertubuh jenjang sering membuat mata para lelaki yang beristri menguntit dibalik jendela, tapi anehnya yang justru dapat perlakuan buruk adalah Ana, janda beranak dua itu. Katanya, kalau jadi orang jangan ganjen dan sok cantik, apalah daya jika yang keliru adalah mata dan pikiran kotor suaminya sendiri. Wajahnya hanya dibalut bedak tipis dan lipstik dengan warna tidak mencolok, tapi kalau memang pada dasarnya cantik ya cantik saja, lagian definisi cantik itu relatif. "Lihat itu Ana, dirumahnya ada lelaki, ngapain aja berdua di dalam rumah, semaleman." Ucap mbak Lasmini tetangga sebelah rumahku. Istriku Lisa, hanya mengangguk merespon ucapan itu, diliriknya aku yang mematung di depan pintu, aku tersenyum kearahnya, kurasa ia sudah paham maksudku. Tempo hari ia juga jadi korban hasutan orang-

Dirgahayu

Adakah yang lebih membahagiakan dari pada menepi dari semua hal yang sering membingungkan? Pada dunia maya yang membuatmu lebih lama menatap layar dan menjelajahi isinya tanpa lagi menengok apa-apa yang terjadi di dunia nyata dan Pada hal-hal didunia nyata yang lebih sering menuntutmu untuk tidak seirama dengan kata hati, apalagi mengataimu ini itu, tanpa tau sejatinya yang sedang kau alami. Aku melakukannya dihari ini, sesaat mengasingkan diri, di enam belas september, kala ucapan selamat ulang tahun hadir satu persatu dilayar handphone. Kucapkan terima kasih, tapi pentingkah sebuah ucapan di kepala dua ini? Tidak juga. Kala kakiku menginjak satu kotak, dan terbuka lebar sebuah pembelajaran tentang: Tidak lagi begitu penting sebuah ucapan, karena yang lebih penting dari itu adalah duduk di depan Ibu, mencium tangannya dan berterima kasih pada pelukan ternyaman, doa-doa yang menembus langit, sabar, kuat, segala sikap baik yang cukup kupahami dari tindakan yang pernah beliau lakuk

Kepada: Ibu

Kepada: Ibu. Udah berbulan-bulan aja, Bu. Rasanya cepet. Ibarat berjalan, perjalanan yang kau tempuh terlampau panjang. Tapi sejatinya kita tidak sedang berjauhan, aku yakin itu, mengutip kalimat seorang sastrawan, bahwa yang fana adalah waktu, kita abadi. Meski kutahu bukan lagi tatap mata yang bisa kita lakukan, caraku terhubung denganmu hanya melalui doa. Kapan datang dalam mimpi? Kutunggu. Bu, ada banyak hal yang ingin aku ceritakan, seperti yang lalu-lalu, tentang banyak ceritaku yang tidak pernah terlewatkan olehmu. Satu pertanyaan yang ingin kutanyakan adalah tentang: manusia-manusia yang datang ke rumah dan sebelumnya tidak pernah kukenali, namun menyatakan berkabung dan menangisi kepergianmu. Ah, Bu aku sedih sekaligus senang, hal baik itu coba kucerna dan kuilhami. Semenjak takdir memutuskan menggerakkan langkahmu ketempat yang asing, sampai detik ini, tidurku tidak pernah nyenyak, seandainya bisa kembali ada dipagi itu, aku ingin berubah menjadi manusia super yang mam

Kenalkan, namaku: Altha

Seseorang yang tidak beruntung, berada di suatu tempat paling terkutuk di muka bumi, tempat yang mengalir sumpah-serapah istri-istri sah. Banyak hati yang kupatahkan saat harta berharga miliknya beralih jadi milikku sementara waktu. Tapi, semua ini diluar kendaliku. Mendung yang singgah didiriku bertahun-tahun lamanya mendadak berganti terang, 'Hitam' hadir membawa harapan, pipiku yang basah diusapnya pelan-pelan, katanya 'Tidak semua yang terlihat buruk itu benar-benar buruk' Namanya: Hitam, seseorang dibalik sampul hitam sebuah novel yang masih terbungkus plastik, yang waktu lalu kutemukan di stasiun. Entah siapa yang meninggalkannya atau mungkin ketinggalan, maafkan aku yang dengan lancang dan tidak tanggung jawab membawanya pulang dan sungguh hidupku berubah, lebih tepatnya cara pikirku. Semesta selalu punya cara untuk menemukan dua anak manusia, cara yang susah dinalar tapi mampu terjadi, dari sebuah kecelakaan kecil, aku menemukan 'Hitam' mengulurka

Tentang Euforia

Bapak masih menghisap rokoknya, bergantian dengan meneguk kopi, wajahnya yang tenang berbanding terbalik dengan Ibu, yang apa-apa serba dikhawatirkan. Wajar, orang tua akan khawatir dengan keadaan anaknya. "Kamu bawa jajan apa? Jangan sampai kelaparan," kata Ibu. "Kayak mau kemana aja, Bu. Di dekat sana juga ada jual makanan." Sembari menyeruput kopi, sesaat bapak melirik pada ransel yang kupenuhi dengan beberapa snack yang kemaren kubeli di mini market dekat rumah. "Kau bawa itu semua ke gunung?" Tanya bapak sembari melangkahkan kaki masuk ke dalam kamar, membawa sisa putung rokok dan kujawab dengan anggukan. Bapak selalu begitu, selepas menghabiskan rokoknya, beliau kumpulkan putung rokok yang tersisa, sampai dua kaleng bekas biskuit, tidak tau akan dikemanakan, tapi setiap dua kaleng penuh, isinya akan menghilang. "Ke gunung mau ngapain?" Tanya Bapak, keluar kembali ke ruang tamu membawa bekas kaleng biskuit berisi putung rokok.

Menjadi Manusia

Langkahkan kaki mendekat lagi, aku tidak akan menikammu dengan kata-kata biadab, karena aku bagian darimu, malaikat atid lebih sering menjalankan tugasnya, atas diriku. Adakah yang harus dihakimi dari Alkohol yang kau konsumsi tempo hari, kemudian membuatmu merasa tenang, melayang dan lupa semua hal-hal berat yang akhir-akhir ini sering membuatmu berkeinginan untuk membunuh dirimu sendiri? Dengarkan baik-baik kalimatku: Aku justru merasakan kekeliruan ada pada manusia-manusia yang menghakimimu. Kau punya hak untuk melakukannya, benar atau salahnya yang kau kerjakan, tugas kami yang ada disekelilingmu adalah mengingatkan. Aku tau, sekeras apapun kujelaskan tentang, dampak buruk yang akan terjadi jika kau terus-terusan mengkonsumsinya. Tidak akan membuatmu luluh dan menghentikannya begitu saja. Masih mengamatimu, yang meneguk kembali benda itu. Teguklah dan tenanglah, mungkin bukan lagi kalimat yang bisa kau terima kala ego lebih memenangkan diri, tidak masalah, aku masih meneman