Yang Terasingkan: Perjumpaan Penuh Pembelajaran

Yang Terasingkan: Perjumpaan Penuh Pembelajaran

Ruangan yang berisi puluhan orang berseragam, dengan masing-masing sel penjara yang berisi lima sampai enam orang, sebagian mereka mengutuk keadaan, sebagian lagi memilih lebih khusyuk menyapa Tuhan, ruangan pengap itu membuat masing-masing kepala sadar bahwa apa yang selama ini mereka lakukan adalah sebuah kesalahan.

Aku terjebak berada pada satu tempat yang sama dengan mereka, pertama kali menginjakkan kaki di sini, kusangka semua yang terjadi adalah mimpi dan aku harus bangun untuk membuyarkan segalanya, namun kakiku menginjakkan kaki ditempat yang paling tidak ingin kusinggahi di dunia, awalnya aku seperti mereka yang mengutuk keadaan, kukatakan dengan lantang bahwa kejadian itu seolah menjebakku, tapi segalanya terlanjur diputar balikkan aku bisa apa selain mencoba memahami semua ini, dengan berusaha baik-baik saja, dan aku sampai pada fase dimana mendadak siang malam ingat Tuhan.

“Segala yang terjadi di muka bumi sudah diatur oleh Tuhan. Tugas kita adalah bagaimana cara memperbaiki diri.” Ucap Acong, pemuda yang kujuluki Ustad saat pertama kali menginjakkan kaki di sini, ia adalah orang yang menggandeng tanganku untuk berwudu, memakaikan kopiah dan mengimamiku.

Ternyata di dalam ruangan pengap, yang dikutuki banyak orang akibat kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan, ada cahaya yang membawaku kembali mengingat Tuhan. Tidak, awalnya aku menganggap semua ini sebab Tuhan tidak menyayangiku, jika iya, semua kebenaran akan terungkap sebelum aku menginjakkan kaki di sini, namun seolah keadaan merestuiku meringkuk di sini.

Suatu malam aku pernah mengadu di depan Acong, cahaya satu ini membuatku paham bahwa hakikatnya, semua yang terjadi adalah ujian dan cobaan dari Tuhan agar kita lebih mendekat kepada-Nya.

“Mana mungkin Tuhan sayang padaku, Cong. Aku dibiarkan tersiksa begini.”

“Yang membuat kau merasa tersiksa ‘kan, karena pikiranmu sendiri, kau tidak menikmatinya anak muda.”

“Bagaimana bisa aku menikmati, Cong. Pikiranku terus berkata bukan ini tempatku tertidur, bukan ini tempatku makan dan bukan ini tempatku mandi dan buang air. Bukan di sini, Cong.”

“Tapi di sini tempatmu, memantaskan diri sebagai manusia ciptaan-Nya.” Kata Acong, kucerna baik-baik kalimat itu, mendayu-dayu di kepalaku.

“Kau lupa siapa yang memberimu udara, siapa yang membuat tubuhmu bergerak, yang memfungsikan semua organ di dalam tubuhmu, membuatmu melihat, mendengar, buang air, biarpun makan nasi dan tempe, Tuhan masih memberinya untuk kita. Kau tidak malu mengatakan jika Tuhan tidak sayang padamu?”

Deg, seperti petir kalimatnya hadir, diwajahku ada sedikit gerimis, ia menatapku lumayan lama berbalut senyum teduhnya.

“Dan aku yakin Tuhan masih ada di hatimu, meskipun tidak ada dalam perkataanmu,” ucapnya, malam itu kami menunaikan salat malam, bahkan selama hidup dua puluh satu tahun, kali pertama aku menjalankan salat tahajut di sini, ditemani mantan pengedar narkoba, yang dianggap hina oleh semua orang yang ada di tempat tinggalnya.

“Semua orang membenciku, Yan, terkecuali kau dan kawan-kawan di sini. Ternyata aku masih berpotensi untuk dianggap sebagai manusia di sini.” Malam itu ia bercerita tentang kejadian yang menimpanya, yang membuatnya sampai dalam ruangan pengap.

“Bahkan Ibu bapak, sudah tidak lagi menganggapku putranya.”

“Yang manusia itu kau, Cong. Bukan mereka. Tidak semua manusia yang terlihat buruk itu benar-benar buruk. Ada yang lebih suka mengulik kesalahan dan dosa orang lain, ketimbang melihat dosanya sendiri, mereka mengambil alih tugas Malaikat Atid,” jawabku.

“Teruslah menjadi baik, Cong. Aku disebelahmu. Kita bareng-bareng sampai surga, ya?” Kutepuk punggungnya, saat itu kami sama-sama menangis dan kami jadi lelaki cengeng.

#ODOPDay15

Comments

Popular posts from this blog

Tersembunyi di Balik Asumsi (1)

Perjumpaan Dengan Beringin

Altha: Diluar Nalar