Yang Terasingkan: Mengoreksi

Kami berhenti disebuah warung makan, mengingat makanan yang tersaji di kamar belum terjamah olehnya, maka dengan sok tahu menduga perutnya lapar, benar dugaanku, dengan lahap ia memakan makanan yang disajikan.

“Sejak kapan dikurung?” tanyaku.

“Setelah kau pulang aku dihakimi, lelaki itu menjelaskan pada Ibu jika penyebab luka itu adalah aku, dia tidak mengakui tentang alasanku memperlakukannya begitu. Seolah semua titik salah memang ada padaku,” jelasnya.

“Kau kenapa tiba-tiba datang ke rumahku?” ia bertanya, kemudian melanjutkan memakan makanan yang masih tersisa.

“Hendak memintamu pada Bapak Ibumu,” jawabku singkat, membuatnya tersedak.

“Maksudmu?”

“Melamarmu.”

“Hah. Seriusan? Ini nggak bercanda?” ia memastikan kebenarannya dan aku mengangguk mantap.

Setelahnya tidak ada kelanjutan membahas tentang hal itu, ia mendadak berubah, sesekali menatapku dan merenung, lebih banyak diam. Selepas makan, kami berjalan menyusuri jalan yang sama seperti tempo hari saat tidak sengaja aku menolongnya.

“Kamu serius?” di atas sepeda motor, ia mengulangi kembali pertanyaannya.

“Kalau main-main ngapain aku berani ketemu orang tua kamu.”

“Ada cinta? Ada sayang?”

“Setelah perjumpaan pertama kali kukira rasa itu sudah hadir tanpa kuduga.”

“Yakin?”

“Kok kamu ragu gitu?”

“Iya, aku ragu.”

“Harus dengan bukti apa aku meyakinkannya?” kataku.

“Aku sudah ada pada tahap menemui orang tuamu, tapi sesuai dugaanku, aku memang sebenarnya nggak pantas buat kamu. Seperti yang disampaikan Bapakmu, seorang bekas narapidana yang kemudian di DO dari kampus dan sekarang hanya bekerja di bengkel, tidak akan cukup membuatmu bahagia,” lanjutku.

Ia hanya menyimak dengan seksama, tidak ada ucapan yang terdengar, hanya satu dua kali kudengar ada isakan, ingin kupastikan apakah ia menangis, namun kuurungkan, jangan sampai ada kalimat yang membuatku menanyakan tentang perasaannya terhadapku, siapalah aku? Terang-terangan orang yang tidak akan memperoleh restu jika meminangnya, meskipun kutahu hatiku sendiri sudah beranggapan jika Ramsha memiliki rasa yang seirama.

“Yang kuragukan, apakah cintamu itu beneran rasa yang tulus dan diridhoi, atau hanya luapan nafsu sesaat?” katanya tiba-tiba.

Bagai guntur yang terdengar, aku merenungi yang sebenar-benarnya, apakah yang kutafsirkan melalui hati yang mantap setelah berdoa adalah salah? Benarkah tindakanku sejauh ini hanya sebatas nafsu sesaat?

“Kau sudah tahu, Yan. Lelaki itu bilang begitu sebenarnya keliru, harusnya yang bisa dianggap buruk adalah aku. Kehormatanku sudah terenggut Yan, belum lagi jiwa gila yang menempel dalam diriku, jika aku jadi istrimu, apa kata keluargamu? Apa kata Ibu Bapakmu? Ada ribuan orang di luar sana yang jauh lebih baik dari aku untuk menemanimu melanjutkan hidup, bukan denganku yang hanya berteman bayang-bayang gelap, hal-hal kotor,” ucapnya dengan sesenggukan, sedari awal aku mengatakannya, ia telah menangis.

“Bagiku tidak ada yang harus dipermasalahkan dengan kehormatanmu yang terenggut, aku yakin jika bisa memilih, kau tidak akan ada dalam keadaan itu, tapi semua itu diluar kendalimu dan aku tidak pernah dan tidak akan pernah menyalahkanmu mengenai perkara itu, satu lagi jangan lagi berikan penjelasan seperti apa yang orang lain katakan mengenai kau yang gila, karena bagiku kau waras, justru kaulah wanita yang berbeda, yang tidak akan kutemukan dalam diri wanita lain,” jawabku.

Ia tidak lagi menjawab pada perkataanku yang terakhir, kutahu melalui kaca spion terlihat jelas air mata yang beberapa kali ia seka, tapi tidak bisa kudefinisikan, benarkah dugaanku, tentang rasa yang sama seperti yang aku rasakan, mustahil, mungkinkah pula perkataannya itu adalah sebuah penolakan, mungkin saja, tapi entahlah.

#ODOPDay19

Comments

Popular posts from this blog

Tersembunyi di Balik Asumsi (1)

Perjumpaan Dengan Beringin

Altha: Diluar Nalar