Penilaian

Sepagi ini telingaku riuh dengan celoteh tetangga, tentang rumah sebelah yang dihadiri lelaki asing. Penghuni rumah itu seorang janda beranak dua, tapi masih muda, kulit putih dan bertubuh jenjang sering membuat mata para lelaki yang beristri menguntit dibalik jendela, tapi anehnya yang justru dapat perlakuan buruk adalah Ana, janda beranak dua itu.

Katanya, kalau jadi orang jangan ganjen dan sok cantik, apalah daya jika yang keliru adalah mata dan pikiran kotor suaminya sendiri. Wajahnya hanya dibalut bedak tipis dan lipstik dengan warna tidak mencolok, tapi kalau memang pada dasarnya cantik ya cantik saja, lagian definisi cantik itu relatif.

"Lihat itu Ana, dirumahnya ada lelaki, ngapain aja berdua di dalam rumah, semaleman." Ucap mbak Lasmini tetangga sebelah rumahku.

Istriku Lisa, hanya mengangguk merespon ucapan itu, diliriknya aku yang mematung di depan pintu, aku tersenyum kearahnya, kurasa ia sudah paham maksudku.

Tempo hari ia juga jadi korban hasutan orang-orang mengenai si Ana, ia pulang ke rumah sambil mengomel, menasehatiku ini itu, katanya aku tidak boleh meniru sikap lelaki-lelaki lain yang mengagumi kecantikan Ana, ia nasehati aku tentang dosa dan pahala, walau kutahu mungkin saat itu ia tengah cemburu.

"Kau itu kenapa, datang langsung ngomel-ngomel nggak jelas begitu. Dek, apapun yang masuk ke telinga itu mbok ya disaring dulu, jangan mudah ikut ngalor ngidul."

"Ya itu, si Ana suka godain lelaki. Istrinya sampai suka marah-marah. Kamu jangan ikut-ikutan kayak gitu, awas lo," jawabnya dengan mulutnya yang mengerucut.

"Yang godain itu Ana, apa bapak-bapak itu?"

"Ana dong, kalau jalan aja sok cantik."

"Kalau emang beneran cantik gimana?

"Abang. Awas lo. kok kamu udah mulai ikut-ikutan." Ucapnya sembari duduk disampingku, meletakkan secangkir kopi yang baru saja dibuatnya.

Begini memang wanita kalau sudah cemburu, suka tiba-tiba ngambek nggak jelas, nuduh ini dan itu, melihatnya bersikap begitu aku hanya tertawa, lucu saja.

"Dek, kamu percaya nggak kalau abang nggak bakal ngelanggar janji."

"Janji apa?" ia menjawab singkat dan masih dengan cemberut.

"Pas ijab qabul waktu itu abang udah janji buat setia sehidup semati sama kamu, janjiku di depan Bapakmu, kuniatkan itu atas nama Allah. Kalau kamu ragu boleh, monggo. Abang juga tau, kamu mungkin cemburu dan takut kehilangan Abang kan?" Jelasku sembari menggodanya.

"Enggak, siapa yang cemburu."

"Kalau nggak cemburu kenapa harus sampai ngambek dan ngomel-ngomel, tapi nggak apa-apa, aku justru seneng, dengan begitu cintamu ke aku tulus" kataku sembari menarik sudut bibirku.

Kuseruput kopi dan melihat Lisa berlalu dengan wajah memerah, ia malu mendengar ucapanku, kemudian mengalihkan ucapanku dengan mengambil piring dan mencucinya.

"Dek, jangan mudah kehasud omongan orang lain, jangan mudah ngalor ngidul ngikutin perkataan orang, sebelum tau buktinya. Satu lagi dek, jangan gampang menilai kesalahan orang lain dan lupa melihat kesalahan sendiri. Paham sayang?" aku semakin menggodanya.

"Iya maaf, Bang," jawabnya singkat. Mungkin perkataanku masih diingatnya, pagi ini setelah menyimak ucapan tetangga tentang Ana, ia pulang ke rumah dalam keadaan normal dan tidak ngomel-ngomel. Ia justru senyum-senyum sendiri saat melihatku.

"Lisa kenapa senyum-senyum."

"Seneng punya suami yang bisa menetralkan otak istrinya. Terima kasih," jawabnya.

#ODOPday9
  • Lamongan,17 September 2019

Comments

Popular posts from this blog

Tersembunyi di Balik Asumsi (1)

Perjumpaan Dengan Beringin

Altha: Diluar Nalar