Kursi Reot di Beranda Rumah

Aku masih mematung, tepat sejengkal dari pagar kayu yang warnanya mulai pudar, warna yang sama seperti puluhan tahun lalu, biru, warna kesukaanku dan kesukaan Bayu, putra sulung Pak dhe Ratmo.

Dipekarangan itu, dulu banyak permainan kami mainkan, sepak bola, lompat tali, jika sedang musim pertandingan bulu tangkis di televisi, kami juga memainkannya. Masih teringat betul, bagaimana sayangnya Pak dhe Ratmo dengan kami, keringat yang mengucur dibayar dengan es teh.

"Istirahat dulu, makan singkong dan minum es ini. Nanti lanjut main lagi." Kalimatnya sontak membuat kami menghentikan permainan dan menuju meja kayu di beranda rumah.

Dari dalam muncul Bu dhe Ratih, membawa sepiring pisang goreng yang masih panas, kami berebut memilih jajanan yang paling besar, hal itu membuat tawa mereka pecah. Istirahat kami menikmati jajanan juga ditemani dengan cerita-cerita Pak dhe Ratmo, tentang pewayangan, kisah rasul atau bahkan kisah kancil dan kawan-kawannya.

Lima belas tahun berselang, rumah ini masih sama wujudnya, yang membedakan hanya bedu-debu yang menempel di sana-sini, seperti tidak terawat, maklum Pak dhe Ratmo mungkin kerepotan mengurus rumah ini sendiri, belum lagi semenjak Bu dhe berpulang beliau lebih banyak menghabiskan waktu menikmati kopi yang ia buat sendiri dan merenung, entah apa yang direnungkan, enam bulan yang lalu ketika aku menjenguk beliau, aku sempat megatakan,

"Pak dhe, lebih banyak istirahat. Jangan terus-terusan melamun."

"Menjadi orang tua itu memang kerjaannya melamun. Coba nanti buktikan pas kamu sudah kamu jadi orang tua."

"Enggeh Pak dhe, maaf Pak dhe belum bisa bawa Bayu pulang, katanya masih ada kerjaan. Pak dhe jangan pikirkan Bayu, nanti kubujuk dia untuk pulang."

"Ya sudah toh, Nang, biarkan Pak dhe hidup dengan bayangan Bayu bersamamu waktu itu, main di beranda rumah, menikamati es dan singkong." Pandangannya menyapu halaman rumah, sesekali jemarinya menyeka ujung mata.

Bentuk jendela dan pintu yang kokoh masih sama, sepasang meja kursi kayu diberanda rumah tidak berubah posisi hanya sudah terlihat reot, disebelahnya rak berisi berbagai macam buku cerita masih awet tersimpan.

Derit pintu mengagetkanku, tubuh yang mulai sempoyongan dan kulit yang mulai keriput itu menunjukkan gigi yang tersisa, tersenyum ke arahku.

"Kau kapan datang, Nang. Ibu Bapakmu ikut pulang kampung?" Tanya Pak dhe Ratmo dan duduk di kursi kayu.

"Enggeh Pak dhe, nembe mawon ndugi, kaleh Bapak Ibuk. Pripun njenengan?" (Iya Pak dhe, baru saja datang, sama Bapak Ibuk. Bagaimana kabarnya?)

"Yo ngene iki, Nang. Ngramut awak dewe, masak dewe." (Ya kayak gini, Nang. Merawat diri sendiri, masak sendiri.)

"Bayu pripun, terose wingi bade mantuk?" (Bayu bagaimana, katanya kemarin mau pulang?)

"Yo ben, Nang. Akeh kerjoane seng gak iso ditinggal menowo." (Yasudah, Nang. Mungkin banyak kerjaan yang nggak bisa ditinggal) Jawabnya, sembari mengambil buku dengan gambar pewayangan di rak.

"Lunggoho, panganen menyok, iseh anget. Aku kangen macakno cerito, Nang." (Silahkan duduk, makan singkong, masih hangat. Aku kangen membacakan buku cerita, Nang)

"Enggeh, Pak dhe." (Iya, Pak dhe)

Beliau membaca kembali cerita tentang salah satu tokoh pewayangan, suaranya yang tidak lagi lantang seperti dulu diselingi dengan suara batuk, kemudian mengambil secangkir kopi di meja dan menyeruputnya.

"Aku kangen Bayu, Nang." Ucapnya sembari membuka halaman demi halaman, pelan-pelan jemarinya menyeka butir air mata.


Lamongan, 9 September 2019

#ODOPday1

Comments

Popular posts from this blog

Tersembunyi di Balik Asumsi (1)

Perjumpaan Dengan Beringin

Altha: Diluar Nalar