Yang Terasingkan: Menuntaskan Kewajiban

Pagi itu aku datang kembali memberanikan diri membawa selembar surat itu, awalnya memang sudah kuduga lelaki itu akan bentak-bentak di depanku, beberapa kali ia hampir memukulku dan kubiarkan hal itu, namun wanita itu rupanya masih sedikit membelaku dengan beberapa kali pula mencegah tangan itu memukulku.

“Mau apa lagi kau datang kemari?” ucap lelaki itu.
 
“Untuk terakhir kali saya datang kemari, mau meluruskan sesuatu, demi ketenangan Ramsha, mohon untuk diijinkan menyampaikan sesuatu,” jawabku.

Duduklah kami di ruang tamu, kali ini Ibunya tidak memainkan handphone seperti tempo hari, memandangku lekat-lekat.

“Mohon maaf sebelumnya, Pak, Bu. Mengingat semakin kesini penderitaan Ramsha terasa semakin menjadi, saya hendak memberi tahu, apa yang mungkin belum Bapak Ibu tahu, ada sebab yang membuat Ramsha melakukan tindakan-tindakan yang selama ini dirasa mengancam banyak nyawa dengan pisau lipatnya,” ucapku, mereka menyimak dengan seksama.

“Semua penyebabnya, ditulis Ramsha di sini, di surat ini, yang tempo hari ditunjukkan kepada saya, dengan air mata yang tidak kunjung berhenti, sedalam itu sakit yang dia rasakan, namun sama sekali tidak ada yang merangkul.” Lanjutku sembari menyodorkan surat itu.

Pertama kali yang memegang dan membaca adalah Ibunya, mimik wajah yang kemudian berubah, kali ini sedikit berbalut penasaran, tuntas menyelesaikan bacaan itu, ia menoleh kearah suaminya dan menyodorkan kertas itu.

“Benar itu, Mas?” tanyanya.

“Nggak bener, tulisan ngawur ini. Apa-apaan aku dituduh begini. Kau mungkin yang bikin tulisan. Mengada-ada.” Bantahnya, sembari menyobek kertas itu.

“Sungguh itu tulisan Ramsha, kalau tidak percaya silahkan ditanyakan. Kepada Ibu dan Bapak, setelah mengetahui ini, minimal sebelum kembali memperlakukan Ramsha seperti yang lalu-lalu, tolong dipertimbangkan kembali sebelum melakukan. Sebab poros masalahnya bukan dari Ramsha, sudah cukup mental yang down, sekolah yang berhenti, dikurung di kamar selama ini, hingga suara-suara dalam dirinya yang mendorongnya untuk menyakiti pelaku kejahatan,” kataku.

“Dia nggak gila Bu, Pak. Dia manusia yang memanusiakan orang lain, ketika ada orang yang tersakiti dia berusaha menolong, meskipun dengan cara yang keliru. Jangan biarkan dia tersakiti lagi.”

Setelah berdiri dari tempat duduk, tubuhku didorong lelaki itu kembali, aku dipukul tanpa melawan, darah mengucur dari hidung, terasa sakit di bagian wajahku, sungguh tidak ada yang melegakan kecuali sudah mengatakan semua yang harus kukatakan, meskipun resikonya kesakitan.

Ibu Ramsha menangis keras, Ramsha turun dari tangga melihatku yang dipukuli, ia berteriak memaki Bapak tirinya, hal itu membuat lelaki itu menghentikan tindakannya.

“Permisi, saya pulang dulu, Om.” Pamitku, sembari tersenyum ke arah Ramsha, sekilas kulihat Ramsha yang melihat sobekan kertas di atas meja, kemudian matanya beralih menatapku yang hendak keluar rumah, ia menangis.

#ODOPDay20
--
Beberapa tulisan yang saya tulis dari beberapa hari sebelumnya dan yang ini, merupakat part atau bagian dari Novel "Yang Terasingkan."
Soon, cerita tentang Ramsha dan Thian akan hadir dalam Novel "Yang Terasingkan."
Mohon maaf, numpang promo😊🙏

Comments

  1. Bagus tulisannya, Mbk.
    Tpi mungkin ada beberapa tanda baca yg kurang tepat, dan tipo di beberapa tulisan.
    Disurat, harusnya ditulis 'di surat'

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tersembunyi di Balik Asumsi (1)

Perjumpaan Dengan Beringin

Altha: Diluar Nalar