Kepada: Ibu

Kepada: Ibu.

Udah berbulan-bulan aja, Bu. Rasanya cepet. Ibarat berjalan, perjalanan yang kau tempuh terlampau panjang. Tapi sejatinya kita tidak sedang berjauhan, aku yakin itu, mengutip kalimat seorang sastrawan, bahwa yang fana adalah waktu, kita abadi. Meski kutahu bukan lagi tatap mata yang bisa kita lakukan, caraku terhubung denganmu hanya melalui doa. Kapan datang dalam mimpi? Kutunggu.

Bu, ada banyak hal yang ingin aku ceritakan, seperti yang lalu-lalu, tentang banyak ceritaku yang tidak pernah terlewatkan olehmu. Satu pertanyaan yang ingin kutanyakan adalah tentang: manusia-manusia yang datang ke rumah dan sebelumnya tidak pernah kukenali, namun menyatakan berkabung dan menangisi kepergianmu. Ah, Bu aku sedih sekaligus senang, hal baik itu coba kucerna dan kuilhami.

Semenjak takdir memutuskan menggerakkan langkahmu ketempat yang asing, sampai detik ini, tidurku tidak pernah nyenyak, seandainya bisa kembali ada dipagi itu, aku ingin berubah menjadi manusia super yang mampu menghentikan waktu, akan kupeluk dan cium kau lebih lama lagi, sebelum akhirnya waktu kembali berjalan dan membawamu pergi.

Ada banyak suara yang mengatakan bahwa: 'Kita harus berusaha menerima, dan terbiasa bahagia' sekuat usahaku melakukan, tapi apa daya, semenjak kau berpulang, aku menjadi seseorang yang tidak benar-benar utuh, ada sebagian dari diriku yang menghilang.

Anak manjamu ini sekarang jadi manusia yang sok tegar dihadapan banyak orang dan lebih suka memakai topeng, menyembunyikan kesedihan. Tapi sungguh, bu, menit detik berlalu tidak pernah mampu menanggalkan bayanganmu dari benakku.
Bu, dengarkan aku mau bicara sesuatu yang tidak pernah kukatakan waktu itu: 'Aku rindu' pada sabar, teduh, nasehat dan apa-apa tentangmu.
Salam sayang.

Lamongan, 15 September 2019
#Odopday7

Comments

Popular posts from this blog

Tersembunyi di Balik Asumsi (1)

Perjumpaan Dengan Beringin

Altha: Diluar Nalar