Yang Terasingkan: Khilaf

Seseorang dengan pakaian sarung dan baju koko berdiri di samping ranjangku, tanpa memanggil dan membangunkan, ia hanya menatapku lamat-lamat, yang tengah berusaha menanggalkan kantuk yang tersisa.

“Semalam kamu minum lagi?” suaranya sedikit membuatku terjingkat.

Seraya bangun, pikiranku mencoba mengingat hal apa yang terjadi semalam. Terakhir sebelum ‘terbang’ menyergapku, aku hanya mengingat jika kawan-kawan menyodorkan benda memabukkan itu padaku.

Pikiranku masih kanak-kanak, tidak ada jalan lain yang harus kutempuh, kecuali kembali mengkonsumsi butiran obat dengan jumlah yang cukup banyak. Benda yang membuatku lupa segala permasalahan.

Semalam sebenarnya aku berniat untuk tidak pulang, seperti malam-malam sebelumnya, aku takut kembali mengecewakan Paman. Kepada anggukan kepalaku yang menyatakan ‘siap’ berubah, ternyata kuingkari sendiri.

Rasa rindu yang menyergapku semalam, kalah dengan perasaan kecewa yang semakin hari justru semakin menambah volumenya, sebagian dari tubuhku memilih untuk bertemu, sebagian yang lain menolak. Kurasa memang demikian kodratnya, siapa yang kuat berpisah dengan wanita yang telah melahirkannya, yang berjuang mati-matian demi memperlihatkan dunia yang begitu indah pada bayi mungilnya.

Tanpa menjawab, mataku terus-terusan menatap lantai, aku memang tidak pernah dan tidak mau bersikap berani jika berada dihadapannya.

“Kenapa tidak kau jawab pertanyaanku, Nak?” Ia yang sedari tadi berdiri, lantas duduk di sebelahku, sementara tangan kirinya merangkulku.

“Maaf, Paman.”

“Paman tidak memaksa kamu secepatnya berubah, segala sesuatu dalam hidup ini memang harus pakai hati dan pikiran sebelum menjalankannya. Paman selalu memaafkan, dan Paman selalu berharap jika sesaat lagi Tuhan akan mengabulkan doa-doa Paman,” ucapnya dengan wajah sendu.

Pandangannya beralih ke sudut ruangan yang sejak semalam berantakan, obat yang kukonsumsi jumlahnya lebih banyak dari yang kukonsumsi dua hari yang lalu membuatku bertingkah seperti hewan, buku yang tertata rapi di meja belajar tumpah ruah di atas karpet kamar dan pigura yang didalamnya terpasang foto Bapak dan Ibu pecah, kacanya berserakan.

“Pak, Nawang mau berangkat dulu,” suara lantang dari ruangan tengah terdengar.

Bebarengan dengan itu jam menunjukkan puku 06.45, Paman kemudian bangkit hendak menemui putri semata wayangnya itu.

“Mandilah dan berangkat sekolah,” ucap Paman, kemudian berlalu.

#ODOPday14

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tersembunyi di Balik Asumsi (1)

Perjumpaan Dengan Beringin

Altha: Diluar Nalar