Yang Terasingkan: Membekas


Selepas menyodorkan gadged dan ia mulai membaca, sesekali ia menunjukkan kepadaku bagian yang susah ia lafalkan, aku membacanya dan ia menirukan apa yang kusampaikan.

“Sha.” Sapaku, membuatnya menghentikan aktifitasnya sesaat dan menoleh ke arahku.

“Hm,” jawabnya.

“Nggak semua hal harus diselesaikan dengan pisau lipat itu, Sha.”

“Dalam keadaan yang seperti tadi, pisau itu harusnya menembus jantung si keparat itu, biar mati sekalian,” jawabnya dengan mata melotot, jawaban yang tegas.

“Kalau dia nggak mati, hal itu akan terulangi lagi.” Belum juga menjawab, ia melanjutkan perkataannya.

“Semua orang akan ada pada fase buruk sebelum baik, Sha. Siapa tahu dia khilaf."

“Gue nggak perduli dia khilaf atau apalah, dia mungkin bisa jadi orang baik setelah itu, tapi bagaimana dengan si wanita yang menderita seumur hidupnya. Lo nggak pernah jadi korban, makanya lo dengan entengnya bisa ngomong kayak gitu.” Kali ini mukanya merah padam, ada amarah yang terlihat.

“Maafin gue, Sha. Gue nggak bermaksud buat lo marah."

Pandangannya menyapu ke seluruh pelataran masjid, beberapa kali terlihat ia menghela nafas panjang. Benarkah perkataanku yang baru saja, telah melukainya?

“Alangkah baiknya jika kita bisa selesaikan dengan baik-baik lebih dulu, jika memang keadaan mendesak dan kita membutuhkan benda untuk melawan, baru kita pergunakan. Maafkan aku Sha, aku nggak bermaksud sok tahu dengan hal itu, aku hanya memikirkan resiko yang akan terjadi padamu jika hal itu terus kamu lakukan. Satu, jika pelaku lebih kuat dari pada dirimu atau justru membawa senjata yang lain, itu akan membuatmu terluka, Sha. yang kedua, kalau sampai pelaku itu mati dan kamu yang justru di bui bagaimana? Ingat, bagi kita yang masih muda, ada banyak mimpi yang harus kita gapai. Jangan sampai kita ngebuat orang tua kita kecewa, Sha,” kataku panjang lebar, mengutarakan pendapat.

“Syukur deh kalau gue mati. Minimal gue bisa bebas dari melihat hal-hal yang keparat itu. Lagian gue nggak ada kepentingan di muka bumi sebenernya.”

“Ngomong apa sih, Sha. Jangan ngaco.”

Kali ini aku melihat wajahnya berubah menjadi sendu, satu dua titik air mata mengalir di pipinya, barangkali hal-hal berat yang menimpanya selama ini, membuatnya mengingat lagi, sekaligus membuat dadanya sesak dan menumpahkannya dalam wujud air mata.

“Gak ada yang ngebutuhin gue juga. Sebenernya kalau bisa, sudah dari dulu gue pengen mati aja,” katanya dengan terisak.

“Sekarang. Gue yang butuhin lo. Lo harus tetep berjuang. Harus bertahan hidup dan terus berbuat baik. Gue di samping lo,” jawabku tiba-tiba.

Ada apa dengan diriku sebenarnya, bagaimana bisa aku mengatakan kalimat itu, diluar kendaliku, hanya hatiku mengatakan itu. ‘Gue butuhin lo?’ Kalimat yang membuatku terhenyak sesaat setelah mengucapkannya, padahal baru beberapa hari ini aku mengenalnya, benarkah seorang Thian mulai jatuh cinta? Entah.

“Lo siapa? Hanya orang baru yang tiba-tiba sok kenal dan nolongin gue.”

“Gue yakin lo nggak jauh beda sama bokap gue. Kadang gue ngerasa, jika semua lelaki memang tugasnya di muka bumi cuma buat nyakitin hati wanita.”

“Bokap lo?”

“Ninggalin gue tanpa tanggung jawab.”

“Kok ... “ Kataku tertahan. Semesta, Ini apa lagi? Bagaimana bisa kisah kita seirama?

“Kita sama. Tapi nggak semua lelaki bisa dipukul rata sesuai pemikiranmu itu. Jika boleh sama-sama egois, gue juga bakal nilai, jika perempuan tugasnya cuma nyakitin lelaki doang.”

“Kebalik. Bagaimana bisa? Perempuan itu lemah. Diinjek-injek mah diem aja.”

“Kalau konsep lo bener. Gue nggak bakal tersiksa bertahun-tahun.”

“Pacar maksud lo?”

“Nyokab. Dia ninggalin gue dan kerja ke kota. Gue udah nggak perduli sih, terserah dia.”

Dengan tatapan iba, ia menatapku tanpa berkedip, kuartikan tatapannya adalah tatapan yang mengisyaratkan: Jika orang yang di depannya itu adalah orang yang mungkin setidak beruntung dirinya di muka bumi.

“Udah ah, mau tidur gue. Kalau lo masih mau belajar, pakek aja dulu handphone gue. Lo masuk gih, di sini dingin.”

Ia menghentikan pandangannya, masuk ke dalam masjid dengan handphoneku yang masih ada dalam genggamannya dan aku mulai memejamkan mata, meskipun susah, udara dingan membuatku sedikit menggigil, tapi mau bagaimana lagi, kecuali menepati janji yang kuucapkan pada pengurus masjid tadi.

#ODOPDay18

Comments

  1. Walau saya belum memahami isi keseluruhan cerita, tapi saya bisa belajar menulis dari sini. Semangat menulis ka...

    ReplyDelete
  2. Saya juga belum paham. Nanti kubaca lagi. Aku pun agak suka baca yang 'absurd'. Anti mainstream (hehe). By the way bus way, kalau sempet mampir ke London. Biar 'dingin' tapi ada segelas 'teh' di warung sana. (Gak nyambung yak?)

    ReplyDelete
  3. Gk ngerti arah kmna... Tak ada prolog kah?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ini potongan cerita yang ada pada novel kak.

      Delete
  4. Masih mikir alur ceritanya
    Bagus tulidannya
    Semangat

    ReplyDelete
  5. sukses bikin penasaran nih tulisanya

    ReplyDelete
  6. Pembukanya bagus loh, tapi emang saya juga bingung dengan isi ceritanya. Biar lebih sip lagi penggunaan kata non baku bisa dicetak miring :D. Semangat terus untuk menulis yaaaa

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih, mbak. Nanti coba saya perbaiki.

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tersembunyi di Balik Asumsi (1)

Perjumpaan Dengan Beringin

Altha: Diluar Nalar