Altha: Apakah lelucon?

Sumber gambar: Google

Kali pertama tidur di rumah mama membuat mataku susah terpejam, di sebelahku Galang sudah sampai di alam mimpi, tidak butuh waktu lama untuk membuatnya tertidur, saat kepala bertemu bantal, maka saat itu pula terdengar suara dengkuran. Di sebelahnya aku hanya menatap wajah polosnya, kemudian menyapu pandangan, mengamati tembok kamar yang kosong tanpa gambar atau foto, di sebelah kiri ranjang tempatku tertidur sebuah lemari yang tidak terlalu besar berdiri gagah, di depan lemari itu ada dua koper dan dua ransel yang berisi pakaian dan segala peralatan yang kami bawa, yang belum sempat kami masukkan dalam lemari.

Wajah bapak tiba-tiba terlintas dalam pandangku, manusia hebat itu sedang apa sekarang? Kenapa sudah lama tidak menemui kami? Bahkan saat rumah dijual dan kami harus tinggal di tempat ini, ia masih tidak juga datang untuk memastikan keadaan putra-putrinya. Aku tahu, tidak wajar sebenarnya, setelah perilaku buruk yang terdengar oleh telingaku, kemudian membuatku membencinya, bagaimanapun juga ia adalah manusia ke dua setelah ibu yang teramat kusayangi, dan satu-satunya manusia yang tinggal di muka bumi, yang rela membanting tulang, berjuang tanpa merasa lelah demi kami.

Aku masih tidak bisa tidur walau sudah kupaksa memejamkan mata, kurasa keadaan ini wajar bagi seseorang yang baru saja tinggal di tempat baru. Jarum jam menunjuk angka tiga, bersamaan dengan itu terdengar suara pintu dibuka, suara langkah kaki sampai di telingaku dan selanjutnya terdengar bunyi gemericik air, mungkin nenek buang air kecil. Dari pada tidak bisa tidur kuputuskan hendak keluar kamar, meskipun tidak ada yang kukerjakan, aku bisa sekedar menonton televisi di ruang tamu. Hingga terdengar lagi suara pintu yang diketuk dan seseorang mendekat ke pintu, setelahnya suara hils bergesekan dengan lantai terdengar, aku mengurungkan niat.

"Ibu belum tidur?" Mama baru saja datang dan menanyakan kalimat itu pada nenek.

"Sudah, mau tahajud dulu," jawab nenek singkat.

"Aku pusing, Bu. Apa yang harus kulakukan, sementara Mas belum sadarkan diri, masih butuh banyak uang, untuk biaya rumah sakit." Terdengar suara mama menjelaskan suatu hal yang membuatku terkejud, di saat yang bersamaan ingin rasanya bergegas membuka pintu dan menanyakan apa yang sedang terjadi, ada apa dengan bapak dan rumah sakit? Tapi urung kulakukan, aku masih ingin mendengar banyak penjelasan mama, toh belum tentu jika aku membaur diantara mereka semua hal akan dibeberkan, bukankah mama akhir-akhir ini justru semakin dingin kepada kami, terlebih padaku yang tidak memberinya kesempatan untuk mendekati kami.

"Uang penjualan rumah?"

"Sudah habis kubayarkan hari ini, Bu," jelas mama.

Satu penasaranku terjawab, tentang kenapa rumah tiba-tiba dijual tanpa pemberitahuan sebelumnya dan terkesan mendadak, rupanya mama terpaksa melakukan itu demi membiayai pengobatan bapak di rumah sakit, ah aku bahkan merasa berdosa sempat menuduh mama seperti kebanyakan wanita di luaran sana, yang mendekati seorang lelaki kaya hanya demi hartanya.

Aku masih menahan diri, duduk di ujung ranjang dan terus menguping pembicaraan, pembahasan semakin serius, suara mama yang sebelumnya terdengar kencang, untuk obrolan berikutnya terkesan dikecilkan volumenya, bahkan seperti bisik-bisik, aku harus mendekat ke arah pintu untuk mendengar secara pasti apa yang mereka perbincangkan.

"Temanku menawarkan pekerjaan untukku, mencarikan satu barang baru, yang baru satu dua kali pakai, Bu. Tapi syaratnya juga harus lihai, uangnya lumayan, Bu. Sekitar lima jutaan, kalaupun kuberitahukan tentang keadaan ini, mungkin ia bisa menaikkan lagi harganya." Mama menjelaskan panjang lebar, sementara nenek hanya menyimak, tidak merespon kalimat mama.

"Aku bingung, Bu. Barang barunya siapa? Mencarinya sulit juga." Pada kalimat ini kudengar mama terisak.

Ini apa maksudnya? Aku tidak paham tentang pembahasan yang tengah mereka bahas, ada kalimat barang baru, dapat bayaran jutaan dan baru sekali dua kali pakai, pikiranku coba mencerna maknanya. Pekerjaan apa? Entah. Tidak kupaksa lebih jauh memikirkannya, mungkin pada ucapan berikutnya pertanyaanku akan terjawab.

"Tidak adakah pekerjaan lain, Nak." Suara nenek terdengar kali ini.

"Tidak ada, Bu. Mana ada pekerjaan yang dapat bayaran sebanyak itu dalam waktu semalam."

"Aku tidak setuju sebenarnya, cukup kita yang hina, jangan lagi menarik orang baru untuk terjun dalam dunia kita," ucap nenek.

"Tapi, taruhannya nyawa Bapaknya anak-anak, Bu."

"Iya, tapi coba cari cara lain dulu."

"Terlalu lama kita mencari cara, Bu. Sementara di rumah sakit Mas kesakitan dan belum sadarkan diri." Tangis mama meledak, terdengar dari suaranya yang berat.

Lama hening, yang terdengar hanya bunyi jarum jam yang berdenting, bergantian dengan suara mama yang sesenggukan. Ini kali kedua menyaksikan mama berantakan, setelah malam itu datang dalam keadaan mabuk dan mengucapkan segala unek-uneknya tentang bapak di depanku dan malam ini yang kurasa lebih parah, ia sungguh takut kehilangan bapak.

Hina - Batinku, tergambar satu hal di kepalaku, benarkah yang mereka maksud adalah pekerja malam? Yang sebagian orang menyebut sebagai pelacur?

"Aku sempat kepikiran Altha, Bu."

"Apa maksudmu? Bocah itu mau kau libatkan untuk jadi manusia hina seperti kita? Enggak, aku nggak setuju."

"Tapi, bukankah ia juga harus berjuang demi kesehatan Bapaknya, aku memang egois jika harus mengajaknya untuk terjun ke dunia gelap, Bu. Tapi pilihanya berat."

Tangisku pecah mendengar kalimat itu, pikiranku terus bertanya-tanya, apakah ini semua tentang lelucon yang sengaja dihadirkan untukku?

#ODOPDay44

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tersembunyi di Balik Asumsi (1)

Perjumpaan Dengan Beringin

Altha: Diluar Nalar