Menjadi Manusia

Sedang mencoba 'mengawinkan' alunan nada dan serentetan kata-kata.
Tips membaca cerita: Putar dulu videonya dan mulai membaca ceritanya hehe.
Semoga bener-bener 'kawin'.

Sumber: Youtube

Di saat semua manusia terlelap dalam tidurnya, satu manusia lain berada beberapa jengkal di depanku tersungkur dan babak belur, setelah lima pemuda di bantu massa yang jumlahnya sama mengeroyoknya tiba-tiba.

Ia yang berjalan santai menyusuri jalanan gelagapan melihat sekelompok orang mendekat ke arahnya dan mendaratkan pukulan pada beberapa anggota tubuhnya, ia yang berusaha menepis pukulan dan tendangan kalah telak dengan jumlah mereka yang banyak, kemudian memilih pasrah, membiarkan darah mengalir di hidung dan mulutnya.

Aku yang baru saja sampai di tempat dimana ia tersungkur, hanya bisa menatapnya iba, sembari sempoyongan mencari bantuan. Namun nihil, tidak ada satupun yang mendekat ke arah kami.

"Ara, ini tentang pesan semalam," katanya terbata-bata sembari menahan sakit.

"Kita bahas lagi nanti, pengobatanmu sekarang yang penting. Oke." Jawabku dan bergegas membopongnya seorang diri, mencari tumpangan mobil yang lewat.

Setelah beberapa kali mencoba menghentikan mobil yang lewat, akhirnya satu mobil avanza merah berhenti dan mengantar kami ke rumah sakit terdekat.

Sampai di rumah sakit ia ditangani dokter, sementara aku cemas melihatnya ditangani, darah belum berhenti keluar dari hidungnya. Melihatku yang panik, mata dan anggukan kepalanya berisyarat menenangkan.

"Masih sakit nggak?" pertanyaan kuulang lagi, setelah dokter keluar dari ruangan.

"Udah enggak. Santai dong. Jangan panik gitu."

"Gimana nggak panik, banyak orang yang ngeroyok kamu tadi kayak manusia kesetanan dan kamu diam nggak melawan, kemudian darah terlihat di sana-sini," jelasku.

"Masih ingat pesan semalam?" tanyanya.

"Yang katanya kamu bawa lari uang donasi, tentang kamu yang bawa lari uang untuk panti asuhan dan tentang kamu yang katanya menipu banyak orang." Coba menjelaskan kepadanya tentang sebuah pesan yang mendarat ke ponselku semalam, kawan satu komunitasnya yang mengirimkan itu padaku.

"Kamu percaya?"

"Selagi cuma dari omongan orang lain dan aku nggak ngelihat sendiri. Nggak bakal kupercaya. Lagian nih kalau memang kamu bener ngelakuin itu mestinya aku nggak marah-marah dan ninggalin sama kamu."

"Kenapa?"

"Orang-orang yang sedang melakukan kesalahan mestinya dirangkul, coba diluruskan, dinasehati, bukan ditinggalkan dan bukan dimarah-marahi," kataku.

"Tapi seriusan aku nggak ngelakuin itu. Buat apa juga hal itu kulakuin, uang donasi dan uang untuk panti asuhan itu sudah kuserahkan ke bendahara. Sepeserpun aku nggak bawa." Ia menjelaskan panjang lebar.

"Tapi lebih parahnya lagi, orang-orang yang benci aku menyebarkan hal yang nggak bener ini ke semua orang, kau tau dampaknya apa, setelah badanku yang babak belur ini, sekarang semua manusia yang sebelumnya dekat denganku ikut terhasud dan sekarang menjauhiku, tanpa cari tau dulu kebenarannya," lanjutnya, ucapan yang mengisyaratkan kekesalan.

"Semua orang sekarang pergi. Yang dulu suka ngasih perhatian sekarang menghilang. Sakit." ia melanjutkan kembali dengan pandangan yang menyapu ruangan.

"Semua? Aku juga?"

"Kecuali kamu."

"Pesanku satu, kelak kalau mereka sedang terpuruk dan mendekat ke arahmu, kamu harus jadi orang terdepan yang menyediakan bahu. Rangkul mereka."

"Pasti, aku nggak bakal ngebiarin orang lain ada di posisi sama seperti aku sekarang. Karena aku tau ini sakit dan jangan ada aku yang lain, yang karena fitnah harus kehilangan semuanya, termasuk kawan baik." Jelasnya dengan sudut bibir yang tertarik dan kuyakini semua akan baik-baik saja. Mungkin tidak sekarang, tapi suatu saat kebenaran akan benar-benar terungkap.

#ODOPDay26

Comments

Popular posts from this blog

Tersembunyi di Balik Asumsi (1)

Perjumpaan Dengan Beringin

Altha: Diluar Nalar