Legenda Tanjung Kodok
Mengetahui
kedekatanku dengan seorang wanita, membuat Ibu selalu mewanti-wanti agar aku
menjaga pandangan dan jangan sampai menyentuh tubuh wanita sebelum pernikahan
terjadi.
Suatu
hal aneh kualami semasa kecil, meskipun aku lupa-lupa ingat, kejadian itu
persisnya seperti apa, yang membekas hanya pantai dan batu yang menyerupai
kodok, yang kami kunjungi seminggu sekali. Seperti penuturan Ibu, batu yang
berbentuk kodok itu adalah Ayahku.
“Jangan
sekali-kali kau melakukan hal yang sama seperti kekhilafan yang pernah Ayah dan
Ibu lakukan dulu, nak.” Jelas Ibu sembari menyentuh pelan batu kodok itu.
“Maksud
Ibu? Khilaf apa, Bu?” tanyaku penasaran.
Semenjak
dulu, hanya teka-teki yang mondar-mandir di kepalaku, mencoba mengingat
kejadian apa yang terjadi hingga Ayah bisa berubah wujud menjadi batu yang
menyupai kodok, ataukah ini semacam alasan Ibu, untuk menjawab pertanyaanku
tentang keberadaan Ayah. Tapi sekarang, dengan mata sembab, Ibu mulai
menceritakan kejadiannya.
“Perjumpaan
Ibu dan Ayah bermula dari sini,” ucapnya memulai cerita.
Diceritakannya
tentang seorang Nelayan yang berasal dari daerah Lamongan dan berjumpa dengan
Ibu, yang merupakan putri dari pembesar yang sangat disegani di Bawean. Lelaki
itu datang ke Bawean untuk menjual ikan, pada kesempatan itulah Ayah bertemu
dengan Ibu dan mulai jatuh cinta.
Hubungan
yang tidak direstui itu diketahui sang Ayah, hal itu membuat Ayahnya Ibu, yang
tak lain adalah Kakekku marah besar dan melarang putrinya untuk membeli ikan di
pantai, juga mengancam akan membunuh lelaki itu, jika datang lagi ke Bawean.
Satu
kesalahan fatal terjadi, yang membuat kakekku marah besar, yakni kehamilan Ibu.
Setelah mengetahui hal itu, kutukan terlontar dari mulutnya,
“Anak
durhaka, kamu tidak pantas lagi menjadi anakku, maka lebih baik kamu menjadi
kodok.” Begitu kalimat yang Kakek lontarkan kala itu. Menceritakan bagian ini,
tangisan Ibu semakin menjadi.
Seketika
itu pula Ibu yang cantik jelita berubah menjadi seekor kodok. Kejadian tersebut
di ketahui kekasihnya dan membuat lelaki itu lebih sering merenung di pantai,
hingga memutuskan untuk menghabiskan sisa hidupnya di pantai.
Tak
berselang lama, ia didatangi seekor kodok. Tepat saat bulan purnama, kodok itu
berubah wujud menjadi seorang wanita yang dicintainya. Dengan gugup ia
bertanya,
“Kaukah
kekasihku?”
“Iya,
aku adalah kekasihmu, aku ke sini mencarimu karena merindukanmu dan sebentar
lagi aku akan melahirkan anakmu, aku ingin melahirkan di sampingmu,” jawab
wanita itu.
Dengan
tabah dan penuh kasih sayang ia membantu wanitanya melahirkan, namun ia kecewa setelah
mengetahui apa yang dilahirkan wanitanya, yaitu seekor kodok. Dengan bersedih
ia membawa bayi kodok itu ke pinggir pantai untuk dibersihkan, setelah itu
menyelimutinya dengan sarung.
Wanitanya
terus bertanya tentang keadaan anaknya, namun lelaki itu terus membujuk agar ia
mengurungkan niat untuk melihat, meskipun begitu ia tetap bersikeras untuk
melihat bayinya. Namun seperti kerasukan roh jahat, lelaki itu justru bicara
lantang,
“Tidak
perlu kau lihat bayimu! Kau telah melahirkan anak setan.”
Tangan
lelaki bahkan mencekik leher kekasihnya, namun tiba-tiba seekor kodok yang
berselimut sarung itu keluar dan menggigit lelaki itu, yang tak lain adalah Ayahnya.
Karena merasa kesakitan, ia melepaskan cekikan itu dan disaat yang sama datang
angin kencang disertai petir yang menyambar dan hujan lebat.
Dengan
menahan sakit lelaki itu melangkah gontai mencari kekasihnya, ingin melanjutkan
mencekik leher wanitanya, sementara itu wanitanya ketakutan dan dengan air mata
yang bercucuran ia menjauh dan bersembunyi di balik bebatuan.
Lelaki
itu terus berusaha mencari wanitanya, namun tiba-tiba sinar kuat menarik
tubuhnya, sinar itu berasal dari kedua mata kodok yang menggigitnya, sinar yang
kuat membuat tubuhnya tidak bisa bergerak dan ia tidak sadarkan diri. Diambang sadarnya
ia masih mendengar kodok itu berucap,
“Sebenarnya
aku sangat mencintai Ayah, namun karena Ayah ingin membunuh Ibu, maka sinar ini
terpaksa saya keluarkan. Ingat, yah, sinar itu berasal dari kekuatan roh jahat,
yang akan merubah Ayah menjadi seekor kodok.”
Pada
saat yang sama tubuh lelaki itu mulai mengecil, sebesar bayi yang baru saja
dilahirkan. Di balik persembunyiannya wanita itu melihat semua yang terjadi, ia
sedih melihat kejadian itu. Tak berselang lama tubuh lelaki itu mulai berubah menjadi
seekor kodok, dan ia berucap,
“Kekasihku,
maafkan aku, semua ini karena kesalahanku, maka sebelum aku mati, aku akan memberitahukan,
bahwa anak yang kau lahirkan adalah seekor kodok dan itu tadi adalah anak kita.”
“Mendekatlah
kalian dan duduk di sini, sebentar lagi aku akan mati, jagalah pusaraku!”
lanjutnya, tak lama kodok itupun mati, namun mereka dikagetkan dengan perubahan
pada kulit kodok yang mati, kulit yang mengeras seperti batu, hingga keduanya
tidak bisa mengangkatnya, disaat yang sama suara terdengar menggema,
“Wahai
kekasihku dan anakku, nanti jika kalian mati, maka akan seperti aku ini.”
Ternyata suara ini berasal dari suara kodok yang sudah mati.
Hari
berganti, saat matahari menampakkan batang hidungnya, tubuh wanita itu seketika
berubah menjadi kodok dan pamit pada anaknya untuk pulang ke Bawean, hendak
menemui pusara orang tuanya. Sesampainya di sana, tiba-tiba kodok, yang tak
lain adalah Ibuku itu mendengar suara Ayahnya,
“Anakku,
sebelum aku meninggal, aku telah menemukan jimat yang bisa merubah dirimu dan
anakmu kembali menjadi menjadi manusia. Benda itu ada di kamarmu, setelah kamu
ambil dari tempatnya, maka benda itu hanya berfungsi selama lima belas hari, di
dalam benda itu terdapat dua buah biji, berwarna merah dan hijau. Yang merah
untukmu, sementara yang hijau berikan kepada anakmu! Ingat, jangan kamu buka
benda itu sebelum bertemu anakmu, karena benda itu akan hancur dengan
sendirinya setelah setengah hari.”
Kodok
itu bergegas mengambil benda itu dan segera menuju pantai untuk menunggu perahu
yang akan membawanya ke tempat anaknya berada, ia mulai harap-harap cemas saat
beberapa hari tak ia jumpai perahu yang bisa membawanya berjumpa dengan anaknya,
hingga beberapa hari kemudian, perahu yang ditunggunya datang, dengan semangat
ia menaikinya, ditengah laut ombak besar dan angin membuatnya mencemaskan
tentang fungsi benda ini yang hanya dapat digunakan selama lima belas hari,
dapatkah ia sampai di tempat anaknya dalam waktu kurang dari lima belas hari?
Jatah
waktu lima belas hari tersisa dua hari, dan cemasnya mulai hilang dan berganti
kebahagiaan, ia berjumpa dengan anaknya dan mulai menggunakan benda itu, sesuai
pesan Ayahnya bahwa yang merah untuk Ibu sementara yang hijau untuk aku,
semenjak hari itu kami kembali berubah wujud menjadi manusia dan menjalani
kehidupan selayaknya manusia pada umumnya.
Ibu
merawatku dan tidak pernah absen mengajakku untuk datang di pinggir pantai
seminggu sekali, mengunjungi Ayah. Waktu yang terus merangkak maju, membuatku
tumbuh menjadi lelaki yang justru sering kali di goda wanita, tapi Ibu selalu
berpesan denganku,
“Jangan
sampai berhubungan terlalu jauh dengan perempuan.”
Setelah
Ibu menceritakan semua itu padaku, aku jadi paham tentang pesan-pesan Ibu kala
itu, dan sekarang ini aku yang lelaki normal, yang mencoba sebisa mungkin bersikap
wajar kepada seorang wanita tetap tidak dapat mengelak bahwa akan timbul suatu
rasa aneh dalam hati dan kenyataanya seorang wanita, anak dari mbok Darmi
membuatku jatuh cinta, siang malam aku mengingatnya, bahkan setiap kali ia
lewat depan rumah, aku tak melepas pandang, betapa sempurnanya anak mbok Darmi
itu.
Hingga
entah keajaiban apa yang membuatku dapat berkenalan dengannya, ia bahkan lebih
sering datang kemari hanya untuk menemani Ibu mamasak, kedekatanku dengan
waanita itu membuat Ibu kembali cemas,
“Kau
masih mengingat pesan Ibu, nak?”
“Masih,
yang ini bukan, Bu? Jangan sekali-kali
kau melakukan hal yang sama seperti kekhilafan yang pernah Ayah dan Ibu lakukan
dulu, nak.”
Ibu
mengangguk mantap, seraya mengelus pundakku dan berbisik di telingaku,
“Jangan
sampai melanggar norma, nak. Cukup kejadian yang waktu itu, apapun keadaannya hal itu harus dipegang teguh, atau segalanya akan fatal.”
#ODOPDay28
*Catatan
Penting: Cerita ini telah diubah sesuai imajinasi penulis untuk memenuhi
tantangan ODOP Pekan 4
Keren Mbak pesan moralnya ^^ semangat
ReplyDeleteTerima kasih, mbak🙏
Delete