Handphone Baru Mbak Denis

Suara kegirangan sayup-sayup terdengar, suara yang bersumber dari ruang tamu itu adalah suara mbak Denis, saudara tertuaku.

Kemarin saat penerimaan raport, mbak Denis dengan senyum mengembang menunjukkan hasil belajarnya pada Bapak, sementara Bapak merespon itu dengan mencium kepala mbak Denis. Hal yang sama juga sering dilakukan padaku, meskipun raportku pada beberapa mata pelajaran memperoleh angka tujuh, angka yang bagiku memalukan dan ingin membuatku menangis semalaman, apalagi dengan membayangkan susah payahnya aku belajar seharian.

Pagi itu aku yang masih ngantuk, mencari sumber suara dan mendapati Bapak, Ibu dan mbak Denis berkumpul di ruang tamu.

"Lho, Tio baru bangun. Belum salat subuh berarti. Ayuk, Nak salat subuh dulu." Ibu yang menoleh ke arahku, kemudian menuntunku yang masih setengah sadar itu ke kamar mandi.

"Mbak Denis ketawanya kenceng, aku jadi kebangun," protesku pada Ibu.

"Harus bilang makasih sama mbak Denis, coba suara mbak Denis nggak kenceng, kamu pasti masih tidur, nggak salat subuh, katanya mau jadi juara kelas seperti mbak Denis." Jawab Ibu sembari melepas pakaianku.

"Apa hubungannya salat subuh dengan juara kelas, Bu?" tanyaku yang mulai kebingungan, mungkin ini faktor belum benar-benar tersadar dari kantuk.

"Usaha tanpa doa, hasilnya apa?"

"Sia-sia." Jawabku singkat dan mulai masuk kamar mandi dan membasuhkan air ke seluruh tubuhku. Hawa dingin membuatku sedikit menggigil. Bergegas membersihkan seluruh tubuh dengan sabun, dilanjut dengan berwudu.

Aku keluar kamar mandi dengan tubuh yang masih menggigil, menuju kamar untuk berganti pakaian dan salat subuh. Kamar yang bersebelahan dengan ruang tamu membuatku tau tentang suasana riuh di sana, mbak Denis senyum-senyum sendiri menatap sebuah ponsel.

"Mbak Denis dibelikan handphone, kok Tio enggak, Pak. Tio mau handphone juga," ucapku cemberut.

"Salat subuh dulu, nak. Waktunya sudah mepet." Bukan menjawab ucapanku, Bapak malah bergegas menyuruhku masuk kamar dan salat, aku sedikit jengkel dengan Bapak, kenapa permintaan mbak Denis selalu dituruti tapi aku tidak. Padahal terakhir sebelum mbak Denis lulus SD, Bapak beberapa kali bilang,

"Anak-anak Bapak, nggak boleh pakai handphone dulu. Nanti sekolahnya terganggu. Pokoknya fokus belajar dulu," kata Bapak kala itu.

Setelah selesai menunaikan dua rakaat, kulanjutkan berdoa, di doa yang kali ini kuselipkan beberapa keinginan, semoga besok atau lusa Bapak membelikanku handphone seperti milik mbak Denis dan semoga aku jadi juara kelas di ujian berikutnya.

Bersambung ..

#ODOPDay29

Comments

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. Semangat Nak Tio.. mungkin bapakmu lagi nungguin gaji ke14 jadi sabar dulu ya... masih diusahakan... handphone nggak jatuh dari langit kan?... hihi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bisa minta tolong bujuk bapak nggak bu? biar cepet beliin handphone haha

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tersembunyi di Balik Asumsi (1)

Perjumpaan Dengan Beringin

Altha: Diluar Nalar